Bagi Riam, ada tiga hal menyebalkan tentang hidup. Yaitu bergerak, bernapas, dan bertemu manusia, utamanya yang berisik. Dua yang pertama tidak terhindarkan. Bahkan seandainya bernapas tidak dilakukan oleh organ secara tanpa sadar, ia pasti sudah berhenti melakukannya sejak dulu. Tetapi yang ketiga ... kadang Riam harus mengutuk keputusan spontannya belakangan ini.
Kenapa ia harus mabuk dan menyetujui usulan pacaran Una?
Kenapa dia mau-maunya menuruti permintaan cewek itu?
Kenapa dia akhirnya bersedia mengikuti keinginan Mitha dan mengajak serta Una?
Kemana kemampuan berpikirnya menghilang?
Ketika ia harus ikut turun dari mobil dan berdiri di depan rumah Ais, menghadapi ayah cewek itu yang tampak galak meski dalam balutan sarung dan peci putih, lalu menyaksikan Mitha yang gemetar saat meminta izin untuk mengajak Ais pergi, Riam mau tidak mau meringis. Ia mungkin berada di situasi serupa satu jam lalu. Bedanya, ia tidak gemetar, atau hanya sedikit. Sangat sedikit.
Oke, sebenarnya ia juga berpikir ingin pulang saja, tadinya. Terutama ketika bertemu pandang dengan Pak Ibram yang tiba-tiba, seakan-seakan menatapnya tajam. Masalahnya, ini tidak sesederhana ketika ia mengajak Una ke satu tempat di seputaran Jakarta Utara. Mitha dan Saga telah memutuskan untuk pergi ke tempat yang lebih jauh. Dan menculik kabur anak perempuan orang bukan hal yang bijak untuk dilakukan. Izin sangat diperlukan.
Tarik napas, dan ucapkan semuanya secara jelas dan singkat.
"Saya mau ngajak Skala pergi, Pak," ujarnya waktu itu, dalam satu tarikan napas layaknya ijab kabul.
"Boleh," Pak Ibram mengangguk seketika.
Dan Riam sedikit terguncang, karenanya. Buru-buru ia menambahkan. "Ke ... Bandung. Pulangnya agak malem."
"Iya, anaknya sudah cerita. Hati-hati, ya."
Riam semakin terguncang. Semudah itu? Ia menatap Pak Ibram tidak percaya. Dan seakan dapat membaca pikirannya, Pak Ibram menepuk pundak Riam. "Bapak percaya kamu bisa jagain Skala. Jangan sampai kurang satu apapun, atau lebih satu apapun, ya."
Riam mengangguk, sementara Deon yang sedari tadi berdiri di samping Pak Ibram mengerutkan alis. "Lebih satu apapun, gimana, Yah?"
"Bawa jin, misal?"
Lalu perhatian mereka teralih oleh ribut-ribut di pintu. Una terlihat tengah menyeret sebuah tas besar keluar. Riam mengernyit.
"Kita nggak nginep," tegurnya.
"Nginep aja, Kak, nggak papa," Deon menyambar. "Nggak usah pulang aja Kak sekalian, nggak papa kok. Sekalian bantu buangin."
Seketika ia mendapat geplakan di kepala yang dihadiahkan oleh Una. "Enak aja! Poster ITZY lo gue buang, mau?!"
Deon meringis mengusap kepalanya. Tetapi segera, dengan sengit ia melotot pada Una. "Koleksi photocard lo gue bakar!"
Dan sebelum perang berlanjut. Bunda terlihat melerai, berdiri di tengah-tengah keduanya. "Ini kamu bawa apasih, Skala, banyak banget!"
"Jajanan lah, Bun! Iyam kan alergi chiki, Una mau ngemil depan mukanya!"
Riam mendengkus, namun tidak mengatakan apa-apa. Ia berpamitan segera, dengan seluruh keluarga Una berada di sana. Bahkan Argi yang membawa sebuah buku tebal dan kaca mata bacanya, dan Irgi yang masih memegang barbel kecil di satu tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orionis: ZETA [Completed]
Teen FictionMISI BALAS DENDAM: Pacari Riam. Buat dia jatuh cinta. Patahkan hatinya. *** Riam Zarel Albion adalah si Pengatur Strategi di Orion, penguasa SMA Bucin yang tidak terkalahkan. Gantengnya tidak manusiawi, otaknya tidak membumi, tetapi kesombongannya j...