****
Farsha berjongkok disamping gundukan makam Mamanya. Arven hanya menatap punggung Farsha sendu, sebelum kemudian ikut berjongkok disamping Farsha. Setelah pulang sekolah mereka mampir kesini, sesuai kehendak gadis itu.
"Mamaa.." lirih Farsha. Mengusap nisan Mamanya, matanya berkaca-kaca. "Asya sendiri," adu Farsha.
Hal itu membuat Arven diam. Sendiri? Ya, sendiri diantara banyaknya orang yang berada disampingnya. Bahkan termasuk Arven dan Dara tak akan bisa menemani Farsha yang sudah terlampau jauh. Seperti tak bisa menyentuh hati kecil Farsha yang selalu menginginkan Mamanya, kapanpun.
"Ngomong apa sii.." gumam Arven mengusap punggung Farsha lembut. "Ada guee," ujar Arven lirih mengusap rambut Farsha lembut.
Farsha diam, mengambil nafas dalam saat dadanya terasa sesak. Kembali menatap gundukan makam sesekali mencabuti rumput yang tumbuh tinggi disana. Menatapnya sendu, tak ada yang pernah datang kesini selain dirinya. Papa, atau Kakaknya mungkin lupa terhadap Mamanya, atau hanya berpura-pura.
"Papa sayang kok sama Mama, cuma lagi lupa ajaa," gumam Farsha.
Hanya hening beberapa saat sebelum isakan Farsha terdengar jelas ditelinga Arven. Cowok itu menoleh, hanya mengusap punggung Farsha lembut. Membiarkan gadis itu menangis didepan makam Mamanya. Mereka setidaknya menyempatkan kesini satu Minggu sekali, dan kejadian ini sering terjadi.
"Mama kamu gak suka liat kamu nangis, jadi diem," ujar Arven lembut mengecup sekilas rambut Farsha. Farsha diam, mengikuti kata Arven walau isakan lirih masih terdengar tersengal. Gadis itu mengusap air matanya, menadahkan tangan berdoa untuk Mamanya diikuti Arven.
Beberapa saat, Farsha bangkit dari duduknya membuat Arven mengernyit heran. "Katanya mau bacain surat buat Mama?" tanya Arven heran. Bangkit berdiri menatap Farsha yang sedang mengusap air matanya.
"Malu, nanti diketawain," ujar Farsha tersenyum terpaksa.
"Siapa yang mau ngetawain?" tanya Arven. Bahkan dia lebih memilih diam jika Farsha ingin membacakan surat buat Mamanya sekeras mungkin. Dia tau perasaan Farsha.
"Arven," ujar Farsha pelan, menunduk.
Arven menghela nafas, cowok itu mengusap rambut Farsha pelan. "Arven? Kenapa ketawa? Bacain ajaa," bujuk Arven.
"Gak mau ih, udah, ayo pulang," Farsha menarik tangan Arven yang masih menatap serius dirinya. "Ayo, Mama gak butuh itu. Mama lebih atau apa yang ada dalam isi hati Asya, gak perlu pake surat. Asya aja yang rada bego, makanya yang dibilang Arven tadi bener," lanjut Farsha.
"Sya, sorry," Arven berjalan disamping Farsha, menggumamkan kata maaf dengan ucapanya tadi yang mungkin masih menyinggung gadis itu.
"Gak papa," ujar Farsha mengangguk pelan. Setelahnya, gadis itu tersenyum manis. Seolah tak terjadi apa-apa. "Asya laper tau, ayo pulang! Kali aja Mama Dara masak," ujar Farsha berbinar membuat Arven tersenyum tipis.
"Oh iya," ujar Arven menghentikan langkah mereka yang kini sudah berada disamping motor.
"Tante kamu rumahnya dimana?" tanya Arven.
Dia sebelumnya tak pernah tau bahwa Farsha memiliki keluarga selain Marsel dan Marco, dia baru mengetahui ini saat Farsha mengakui kalau seseorang yang datang di rumah sakit menjemputnya itu adalah Tantenya. Gadis itu tak pernah berterus terang, Arven sedikit tersinggung tentunya dengan sikap Farsha yang baru ia ketahui, tapi cowok itu hanya diam.
"Kenapa?" tanya Farsha balik, menatap menyelidik kearah Arven.
Arven memutar bola mata malas. "Tanya doang, bocah," dengusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Farsha
Teen FictionGadis cantik dengan sejuta rahasia. Dia tak punya keluarga, atau tak pernah dianggap oleh keluarganya. Nakal, bodoh, itu sangat melekat padanya. Sama-sama Bad. Tak ada yang tau hubungan mereka, walaupun hanya sebatas sahabat. Tapi Arven selalu ada d...