Farsha-16. Die?

32.3K 5.3K 1.2K
                                    


Yang nunggu? Siap perasaan yaa!!

"Asya nggak pernah putus asa. Cuma Tuhan lebih tau isi hati Asya yang sebenarnya."

****

"Kaget?"

Laki-laki itu tak menjawab ucapan cowok didepanya.  Hanya diam, menatap datar kearah remaja yang menggunakan kaos hitam dilengkapi jam tangan yang melingkar rapi, berbanding terbalik dengan rambutnya yang terkesan sedikit berantakan.

"Siapa?" tanyanya. Dengan santai duduk di kursi cafe. Diikuti cowok yang bertemu dengannya tadi.

Arven, cowok itu terkekeh pelan. "Gak kenal gue?" tanyanya sinis.

Laki-laki yang merasa tersindir itu hanya diam. Menatap tajam mata Arven yang dibalas tak kalah tajamnya. "Kenapa ikut campur?"

"Urusan gue."

Setelahnya hanya diam. Kata-kata Arven yang menyebutkan bahwa itu adalah urusan dia juga tak membuat laki-laki itu kaget. Mereka sering bertemu, bersitegang, hanya membahas satu masalah.

"Tukang ngadu," gumam laki-laki itu menyandarkan tubuhnya ke kursi.

Arven diam. Menatap Marco yang kini mengotak-atik ponselnya singkat. Setelahnya kembali menatap Arven. Hari malam membuat udara sedikit dingin. Cafe disini juga lumayan ramai dengan banyaknya muda-mudi yang keluar untuk sekedar main atau ngobrol saja.

"Gue heran," gumam Arven pelan. "Lo kenal sama Asya berapa tahun si Bang? Jelas-jelas Asya sama kalian dari kecil."

Arven sengaja memanggil Marco dengan sebutan seperti itu. Dulu, dia memang sering memakai kalimat seperti itu pada Marco, untuk menunjukan sopan-santunya.

Bibir Marco tersunging senyum miring. "Bayi, dari Bayi tentu. Tapi gimana gue bisa percaya gitu aja?"

"Percaya gitu aja?" ulang Arven merasa tak tau apa yang dimaksud.

"Mama kita sama, hal yang ada dipikiran gue saat umur 2 tahun. Setelah itu, gue kerumah Nenek, sekolah disana. Dan semenjak itu, pemikiran gue berbeda. Mama kita berbeda, Mama yang dulunya sayang sama gue kini gendong bayi didepan gue," ujar Marco menegaskan.

Bukan, bukan tentang pilih kasih. Bukan tentang yang satu diperhatikan yang satu diabaikan. Itu pikiran Arven, bukan hal itu. Ada sesuatu yang diucapkan Marco tapi dengan kosa kata yang lembut. Arven bukan orang yang mudah percaya dengan satu omongan. Cowok itu sangat teliti dengan cara bicara lawanya.

"Lo gila Bang," ujar Arven menggelengkan kepalanya. Satu hal yang mengganjal dihatinya tapi Arven tak tau apa itu.

"Sekali-kali pakai logika. Jangan pakai hati," kata Arven menatap Marco. Heran dengan cara pikir cowok itu.

"Kalau emang dari kecil gue udah kaya gitu lo mau apa?" tantang Marco menatap Arven tajam.

"Seenggaknya jangan sakitin cewek gue kaya gitu," kata Arven tajam. Cowok itu kemudian berdehem. "Tujuan lo ngajak Asya kesini mau apa?"

"Bicara doang," balas Marco singkat.

Arven terdiam, menatap Marco serius. Malam ini mereka hanya berbicara tentang akar masalah. Marco tidak begitu emosi, cowok itu bisa bicara tenang sesekali mengingat masalalunya.

***

Farsha menggigit bibir bawahnya gelisah, panik, dan khawatir menjadi satu. Tanganya memegang ponsel lebih erat, diluar sudah malam. Arven belum pulang dengan ucapan menemui seseorang yang Farsha yakini adalah Kakaknya. Tapi bukan itu masalah Farsha sekarang, matanya berkaca-kaca. Bingung dengan hati dan otaknya.

FarshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang