Numb

61 12 0
                                    

Setelah Aram menempuh perjalanan jauh untuk pulang, akhirnya ia sampai dirumah. Ia melihat motor ayahnya tidak ada jadi ia berpikir bahwa ayahnya belum pulang.

"hahh, syukurlah jika Appa belum pulang." Lega Aram melihat ayahnya belum pulang kerumah. "tapi bagaimana mungkin? Biasanya sudah pulang sambil membawa wanita, kenapa tak biasanya? Ah lebih baik aku beres-beres rumah sebelum Appa pulang." Aram berdialog sendiri.

Aram memasuki rumah dan menutup pintu. Setelah menutup pintu pemandangan yang tak enak sedang didepannya. Ayahnya membawa sebuah rotan kayu dengan wanita dibelakangnya. Aram terkejut, ia pikir ayahnya belum pulang.

"Dari mana saja, hmm?" tanya ayah Aram garang. "Dari mana saja baru pulang?!" bentakkan kasar terlontar di diri Aram.

"Sekolah macam apa sampai pulang jam segini, hah?!" Murka ayah Aram yang tak dihiraukan oleh Aram.

"Dasar anak tak tau diri!!!" Ayah Aram memukul badan Aram menggunakan rotan yang di pegangnya sejak tadi. Wanita di belakang ayahnya tidak berkutik dan hanya melihat.

Aram hanya pasrah badannya di pukul mati-matian oleh ayahnya. Aram hanya bisa memejamkan mata dan merasakan sakitnya pukulan yang mendarat ditubuhnya. Bertubi-tubi pukulan jatuh pada tubuh Aram. Tak hanya pukulan, melainkan tendangan dan tamparan mendarat ditubuhnya dari ayah kandungnya. Hal yang sudah biasa Aram dapatkan selama ini.

"Anak yang tidak tau diri sama sekali!!" Teriakan, pukulan, tendangan, hinaan. Itu semua mendarat ditubuh Aram tanpa terkecuali.

Badan Aram terkulas lemas dilantai, darah keluar dari hidung Aram. Badan yang tersungkur dilantai tak bertenaga, sakit menyeluruh. Aram yang sama sekali tak membalas omongan ataupun perlakuan ayahnya hanya diam dan menerima dengan lapang dada. Bukti bahwa ia sangat berbakti kepada ayahnya.

"BANGUNLAH!!" Ayahnya menarik paksa tangan Aram supaya berdiri. Dengan lemasnya tubuhnya, Aram tetap berdiri di hadapan ayahnya.

"Bahkan kau tak menangis dengan pukulanku?" Tanya ayah Aram dengan wajah sangat garang.

"Menangis? Apakah sangat bermanfaat jika aku menangis dihadapan Appa?" jawab Aram menatap mata ayahnya dalam.

"Kau berani menjawabku?!!" Bentaknya tepat didepan wajah Aram. "Anak macam apa kau ini hah?! Bahkan kau tidak mengeluarkan air mata setetes pun!! Hatimu beku? Sehingga tak mengeluarkan air mata setetes pun! Hah?!" Bentaknya lagi dan lagi.

"Hatiku sudah mati rasa terhadap perlakuanmu!" Jawab Aram menekan setiap katanya. Aram menepis kasar tangan ayahnya yang mencekeram tangannya dan pergi begitu saja. Ayah Aram diam tak berkutik setelah mendengar jawaban Aram.

Aram pergi ke kamar begitu saja tanpa mempedulikan ayahnya dan wanita itu. Sesampai dikamar Aram meletakkan semua benda yang dibawa dari tadi dan mengambil tissue untuk membersihkan darah yang mengalir dihidungnya, lalu berjalan menuju balkon kamarnya.

"Tuhan saat ini aku tak ingin menangis, aku tau saat ini kau menguji hatiku." Batin Aram yang memejamkan mata dibalkon rumahnya dengan pemandangan yang mulai menunjukkan kegelapan malam.

"Saat ini hanya kau yang bersamaku Tuhan. Yang aku inginkan hanya satu. Kebahagiaan." Berbicara sendiri sering dilakukan oleh Aram dikamar. Sendiri? Tidak, ada tuhan yang bersamanya.

Malam sudah tiba, tetapi Aram masih setia berdiri dibalkon kamarnya sambil memejamkan mata tanpa mengganti pakaian. Mungkin sekarang pakaiannya yang basah menjadi kering karena angin yang menerpanya sejak tadi. Ia masih memakai jaket Aera. Sedikit membantunya agar tidak kedinginan.

Tak lama kemudian suara handphone Aram berbunyi tanda ada telfon masuk. Saat itu juga Aram masuk dan duduk diatas kasur.

"Eoh? Nomor siapa ini? Aku tak mengenalnya." Bingung Aram, karena ia tak pernah memberikan nomer telfon disembarang orang. Namun, Aram tetap mengangkat telfon itu.

Could Happen?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang