Honest

42 12 0
                                    

"Berura-pura? Maksudmu?" Jawab Aram pura-pura tidak mengerti.

"Jangan dikira aku tak tau masalahmu Aram-ah," Jawab Aera tegas. "Awalnya aku berasumsi bahwa itu suara dari rumah lain dan aku masih berfikir positif bahwa itu bukan kau. Dengan terkejutnya aku tadi pagi melihatmu yang begitu kacau, hmm. Disitulah aku tau semuanya, dari wajah pucatmu tadi pagi dan kau berangkat ke sekolah tak berdaya, tidak ada tenaga aku yakin aku tak salah dengar kemarin. Kau kena bentakan ayahmu lagi kan? Maka dari itu aku menelponmu kemarin, aku ingin menanyakan sesuatu tapi kau menyuruhkan mematikan telpon dan tidur." Lanjut Aera penuh dengan ke khawatiran. Menatap mata Aram yang saat ini sedang menatapnya juga.

"B-bagaimana kau tau?" Ucap gugup Aram. Matanya hendak ingin menangis.

"Kau bertanya bagaimana aku tau? Tentu saja aku tau, saat kau meninggalkan rumah pohonku untuk pulang aku mengikutimu dari belakang dengan jarak yang cukup jauh agar kau tak mengetahuiku. Jika kau bertanya kenapa aku mengikutimu, karena saat kau pulang dari rumah pohonku kau menampilkan wajah yang gelisah. Aku khawatir padamu, jadi aku mengikutimu sampai rumah." Jujur Aera, ia memang mengikuti Aram sampai rumahnya.

"Saat kau ingin masuk, aku sempat mendengarkanmu berbicara sendiri. Lalu kau masuk kedalam rumah, saat itu juga aku mendengar bentakan dan mendengar ada benda jatuh. Aku tidak bisa masuk ke rumahmu karena pagar rumamhmu menggunakan alat sensor seperti rumahku." Lanjut Aera.

"Saat itu aku ragu dengan suara bentakan dan benda jatuh itu, karena suaranya tidak terlalu keras terdengar ditelingaku. Jadi aku berjalan pulang kerumah pohonku setelah suara bentakan itu sudah tak terdengar, tapi yakinlah Aram-ah sepanjang perjalanan aku terus berdoa agar suara bentakan itu tak berasal dari dalam rumahmu. Aku terus khawatir pada dirimu, maka dari itu aku menelponmu semalam. Ternyata tebakanku benar." Jujur Aera yang kelewat lengkap.

"Jj-jadi kau mengikutiku sampai rumah?" Tanya Aram gugup.

"Nee, apa yang terjadi? Suara benda jatuh apa yang aku dengar? Apa bentakan saja? Pukulan?" Pertanyaan yang menyiratkan rasa khawatir.

"Ahh bukan apa-apa." Jawab Aram hendak menangis.

"Kau tetap tak ingin bercerita kepadaku, iya? Aku ini temanmu apa bukan Aram-ah?!" Suara yang sedikit besar menerpa telinga Aram.

Setelah Aram mendengarkan kalimat yang keluar dari mulut Aera, Aram berdiri dan langsung meninggalkan Aera. Hatinya sangat kacau. Aram tak mau Aera melihatnya menangis.

"ARAM-AH, kau meninggalkanku?!" Teriak Aera, dan saat itu juga Aram berhenti melangkah. Jarak Aera dan Aram cukup jauh.

"Wae?!" Suara besar dikeluarkan Aram untuk menjawab teriakan Aera. Matanya semakin mengeluarkan air.

"Kau ingin meninggalkanku disini sendiri? Kenapa kau tak ingin bercerita masalahmu kepadaku Aram-ah? Wae?!" Kedua gadis saling mengeluarkan suara yang sedikit meninggi. Terkesan memaksa, tapi jika Aera tak mendengar langsung dari mulut Aram, Aera akan selalu khawatir.

"Kurasa tidak perlu." Jawab Aram singkat. Setelah menjawab Aram ingin melanjutkan langkahnya namun Aera berteriak kembali membuat Aram berhenti. Lagi.

"YAA!! Aram-ah!!" Teriak Aera.

"ARRASEO! Kau ingin tau kenapa aku tak mau menceritakan masalahku kepadamu bukan?! BAIKLAH! Akan ku beri tau!" Ucap Aram secara emosional.

"Kau adalah bagian terpenting dalam hidupku setelah ibuku Aera-ssi," Suara yang terdengar emosional. "AKU TAK MAU MELIBATKANMU DALAM KESEDIHANKU, KAU ADALAH TEMANKU BUKAN TEMPAT PELAMPIASANKU!" Bentak Aram dengan keadaan yang sudah menangis. Aram tak kuat menahan air matanya untuk jatuh.

Could Happen?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang