Dua

9.1K 788 21
                                    


Ambrose Hancock tidak pernah, seumur hidupnya, mengawali hari dengan sebuah umpatan. Tetapi hari ini tampaknya menjadi pengecualian. Kicauan burung terdengar, pertanda pagi telah menjelang. Ambrose bisa mengamati perubahan warna nuansa pada kamar yang mereka tempati, dari gelap pekat menjadi abu-abu.

Pagi telah tiba, dan dirinya tidak bisa tertidur sekejap pun, karena itulah, Ambrose tidak tahan untuk mengumpat dalam hati. Brengsek, pikirnya.

Ambrose menoleh ke samping, mendapati sisi samping wajah Alisia tampak sempurna seperti biasanya. Mata sang Putri masih terpejam. Suara napasnya terdengar teratur. Ambrose bergerak sedikit, mengira sang Putri tidak akan terbangun. Tetapi tampaknya Putri Alisia adalah seorang yang sensitif, begitu Ambrose menarik tangannya sedikit, Putri Alisia mengerjap dan menoleh ke arahnya.

"Selamat pagi," sapa sang Putri dengan senyuman riang.

Hati Ambrose terasa agak tidak nyaman. Sungguh, sepertinya sang Putri menepati kata-katanya, sama sekali tidak menganggap dirinya sebagai seorang pria. Semalaman mereka berdua tidur seranjang, dan Putri Alisia bisa tidur dengan nyenyak, seolah tanpa pertahanan dan kecurigaan sedikit pun. 

Ambrose merutuk. Ia merasa luar biasa lelah karena tidak tertidur sekejap pun. Brengseknya, memang dirinya adalah perjaka tulen, tidur dengan seorang asing di sebelahnya membuatnya terjaga semalaman. Hal yang tidak bisa diakuinya sampai mati pun dengan seluruh harga dirinya.

Ketika Alisia menggeliat bangun dan menguap, Ambrose mengerjap sebelum dirinya bangun dan mengambil jubah kamarnya.

"Apakah kau tidur nyenyak, My Lord?"

Dengan sisa harga dirinya, Ambrose memaksakan senyum. "Kuharap malammu menyenangkan semalam, Tuan Putri?"

Di luar dugaan, Alisia membalas dengan senyuman senang. Wajahnya tampak seratus persen tulus. "Aku tidur sangat nyenyak. Kau hebat."

"Apa yang kau maksud..." wajah Ambrose memerah sejenak mendengar frasa terakhir yang diucapkan Alisia. Siapapun yang mendengarnya bisa salah paham dan menduga yang tidak-tidak.

"Aku hanya menemanimu, tidak ada yang hebat dari itu. Kumohon Tuan Putri tidak menggunakan frasa yang bisa membuat salah paham pendengarnya."

Alisia tertegun sejenak sebelum tertawa keras. "Astaga, itu hanya pujian biasa. Kau bersikap ksatria karena menepati janjimu. Bukankah itu hal yang hebat?"

Hari masih sangat pagi ketika mereka berdua turun untuk sarapan. Ruang makan istana masih kosong. Hanya ada beberapa pelayan yang dengan sigap melayani mereka. Meskipun demikian, Koki tampaknya sudah bangun pagi-pagi sekali dan menyiapkan sup hangat dengan roti untuk sarapan mereka.

Ketika menyuapkan sup krim ke mulutnya, perut Ambrose serasa bergolak. "Blegh," Ambrose menutup mulutnya, merasa mual. Bagus, sangat bagus, pikirnya sambil merutuk. Matanya terasa lelah dan perih, sementara perutnya mual, menolak diisi sarapan.

Alisia duduk di ujung meja makan, menatapnya dengan kening berkerut. "Astaga, aku tidak menyangka hanya karena semalam...."

Ambrose terdiam, mengamati Alisia. Ia memberikan isyarat dengan matanya, melarang sang Putri melanjutkan ucapannya. "Aku tidak apa-apa..." Tetapi baru menyuapkan sesendok sup, Ambrose merasa mual lagi sampai mau muntah. Ia pun memijit keningnya.

"Apa kau hamil, My Lord? Bagaimana ini, apakah kau mau memintaku bertanggung jawab?"

Pelayan wanita yang berdiri di dekat mereka menjatuhkan poci logam sampai jatuh menimbulkan bunyi kelontang keras. Melihat Ambrose Hancock menggeram marah, tidak seperti dirinya yang biasa sopan dan pendiam membuat sang pelayan wanita menjatuhkan dirinya dan berlutut minta maaf karena membuat keributan.

My Beloved Alisia [18+] [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang