32
Alexei ingat ketika dirinya masih kecil. Di suatu hari di musim panas, ia menangis tersedu saat kakinya yang berdarah diobati pengasuhnya. Ia memanjat pohon bersama dengan Alisia, tetapi kakinya terpeleset dan dirinya terjerembab ke tanah.
"Yang Mulia, Anda tidak boleh menangis. Anda akan menjadi Raja, seorang pemimpin rakyat. Tidak ada pemimpin yang berhati lemah dan memakai perasaan."
"Tapi Nanny..."
"Seorang lelaki harus kuat. Seperti Ayahmu, bukankah kau tidak pernah melihatnya menangis?"
Alexei menghentikan tangisnya seketika saat teringat sosok Ayahnya. Ayahnya selalu kuat, selalu bijaksana, selalu terkendali dan tampak kuat. Tidak terkalahkan. Sosok itulah yang menjadi tujuannya suatu hari nanti. Ia akan menjadi Raja, ia harus bersikap seperti ayahnya. Kuat, tidak banyak bicara, terkendali, tidak menggunakan perasaan.
Oh, tetapi suatu hari, Alexei menyaksikan saat-saat di mana Ayahnya tiba-tiba tampak lemah dan tua. Lelah dan menderita.
Penyebabnya tak lain tak bukan adalah ibunya, sang Ratu, Alexandria, yang semakin lama semakin terganggu ingatannya. Kini saat Ibunya bahkan terkadang tidak mengenali Ayahnya dan dirinya, Alexei bisa melihat dengan jelas betapa hal itu melukai Ayahnya.
"Apakah Ibu tidak mengingatku?" Alexei bertanya pada ibunya suatu kali. Wanita itu duduk di kasurnya, terdiam dengan pandangan kosong. Mendengarkan pertanyaan Alexei, ibunya bergeming, mungkin saat ini penyakitnya kembali kambuh dan dirinya kembali tidak mengenali Alexei.
"Aku sudah dengar dari Antakova tentang apa yang terjadi pada Sasha-mu..." cetus Alexei.
Mendengar nama Sasha, Alexandria menoleh ke arah Alexei untuk pertama kalinya.
"Ha," Alexei bersedekap sambil tersenyum sarkas. "Kau melupakanku yang juga darah dagingmu, tetapi mengingatnya. Ibu memilih menyembunyikan dan membuang putrimu untuk menukarnya dengan kenyamananmu di istana ini. Apakah Ibu takut Ayah akan membunuh Sasha?"
"Alexei..." Alexandria menutup mulut dengan terkejut. "Apa yang kau ucapkan. Kenapa..."
Melihat ekspresi Ibunya yang tampak terpukul, Alexei merasakan pahit di lidahnya. "Kau begitu menyayanginya, kenapa membuangnya? Sekarang kau menyakiti semua orang dengan bertingkah laku seperti ini. Apakah Ibu tahu bahwa sekarang Ibu menjadi kelemahan bagi Ayah? Bagi kerajaan kita?"
"Hentikan!!" Alexandria berteriak histeris, menutup kedua telinganya dengan tangan. "Hentikan! Hentikan! Hentikan!"
Brak, pintu terbuka dan Alisia serta Antakova berlari masuk. "Astaga, apa yang kau katakan padanya, Alex?"
Alexei menukas tangan Alisia yang berusaha menyentuhnya. "Jangan pernah panggil aku dengan nama itu, aku tidak ingin teringat pada wanita ini."
"APa yang kau katakan dengan wanita ini?! Kau sangat kurang ajar! Apa kau lupa bahwa sosok yang kau rendahkan itu adalah Ibumu sendiri?!"
"Aku tidak punya ibu seperti ini."
"Alexei!" teriak Alisia marah. "Minta maaf pada ibumu!"
Alexei memandang ke arah Alexandria yang masih tampak histeris dalam pelukan Antakova. Sementara wanita itu kehilangan kewarasannya, Ayahanda mereka sedang terbaring sakit. "Kalau memang Ratu butuh ketenangan, mungkin menara Barat cocok untuknya," cetus Alexei dingin. "Kurasa Ayah tidak akan menolak usulanku, mengingat tidak ada lagi yang Ayah harapkan dari Ibu saat ini."
Alisia menampar wajah Alexei, tetapi pria itu hanya diam di tempatnya. "Aku memaafkanmu karena memandangmu sebagai saudariku. Tetapi kau harus mengingat bahwa ketika aku naik tahta, kau tidak bisa bertindak sembarangan lagi padaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Alisia [18+] [COMPLETED]
Historical FictionPutri Alisia Boryanovna Dragomirov, putri mahkota dari kerajaan Avar adalah cerminan wanita cantik namun tangguh yang membuat banyak pria gentar. Anehnya, sekalipun Alisia tampaknya sama sekali berbeda dengan tipikal wanita yang diinginkan seorang A...