Sembilan

6.2K 654 18
                                    


Alisia membuka matanya setelah merasakan Cahaya matahari yang menembus melalui sela-sela gorden menyentuh kelopak matanya lembut, seperti sebuah kecupan perlahan. Ketika ia menoleh ke samping, Ambrose Hancock terpejam di sebelahnya.

Alisia bergeser dan mengurut pelan tangan Ambrose. Tangan Ambrose pasti mati rasa, karena dijadikan bantal kepala semalaman oleh Alisia. Lagi-lagi Ambrose Hancock menepati janjinya, seperti seorang pria sejati. Bersama pria itu yang mendekapnya semalaman, Alisia bisa tertidur pulas seperti bayi.

Alisia memeluk pinggang Ambrose dan menyenderkan kepalanya ke dada Ambrose, meresapi aroma maskulin Ambrose yang terpampang di depannya.

"Pagi-pagi kau membuatku tidak ingin beranjak bangun," suara Ambrose terdengar geli sekaligus sedikit teredam karena Alisia mendengarnya dari sebelah telinganya yang menempel di dada Ambrose.

"Kalau begitu jangan bangun," Alisia menengadah dan mencium dagu Ambrose.

Ambrose tertawa lalu menundukkan kepala supaya dirinya bisa memberikan akses pada Alisia untuk menciumnya dengan lebih leluasa.

"Apakah tidurmu pulas semalam?" Alisia menutup mata dan menggumam senang ketika Ambrose menggunakan sebelah tangannya untuk mengusap kening Alisia lembut dan menyugar pelan rambutnya ke belakang.

"Aku senang karena bersamamu membuatku bisa tidur dengan nyaman."

"Tawaranku masih berlaku," Ambrose menyarankan hati-hati.

"Untuk menikah?" Alisia bertanya sendu. "Apakah tidak bisa seperti ini saja? Seperti sekarang, bersamamu tanpa ikatan apapun tidak mengapa untukku."

"Aku yang mengapa..." Ambrose berujar pelan. "Aku memikirkan kalau orang-orang akan bergunjing tentang kita. Karena aku pria, tidak akan ada masalah berat untukku. Tetapi kau wanita, seorang putri. Bukankah ada terlalu banyak hal yang harus kau pertaruhkan dalam hubungan tanpa status seperti ini?"

"Tidak mengapa," jawab Alisia cepat. "Kau rugi kalau sampai menikah denganku."

Kening Ambrose berkerut bingung, namun Alisia cepat menyentuhkan ibu jarinya di antara kedua alis Ambrose, menekannya lembut. "Kau tidak boleh sering-sering mengerutkan kening seperti itu," senyum Alisia sebelum menjatuhkan kecupan di kening Ambrose.

Hati Ambrose terasa dipilin. Ia memeluk Alisia lagi.

Ambrose berpikir, berapa lama waktu berlalu semenjak ia mengutarakan kepada Celsia bahwa ide Celsia untuk menjodohkannya dengan Alisia adalah hal terkonyol yang pernah didengarnya? Ia tidak menyangka bahwa hanya dalam hitungan hari, minggu, bahkan kurang dari sebulan, ia jadi menempatkan Alisia sebagai seseorang yang penting. Seseorang yang perlu dilindungi.

Ambrose menarik selimut menutupi tubuh Alisia yang terbungkus gaun tidur tipis. Alisia tersenyum memandangnya, sama sekali tidak mengharapkan apapun dari Ambrose. Dan lucunya, hal itu membuat Ambrose terluka dan merasa tidak dibutuhkan.

Hubungan di antara mereka murni fisik. Kebutuhan mereka sama-sama murni fisik dan bukan atas dasar cinta, seperti perasaan Ambrose yang tidak terbalas pada Celsia. Tetapi, semakin ke sini, Ambrose semakin bingung dengan dirinya sendiri. Ia semakin kesulitan membedakan Batasan yang ada dalam dirinya. Juga tentang perasaannya sendiri.

"Kenapa kau mengira aku akan rugi kalau menikahimu?" Ambrose bertanya lugu. "Kukira kau yang akan menderita kerugian karena menerima pria kaku sepertiku."

Alisia tertawa. "Karena kau perjaka?"

Wajah Ambrose memerah. "Itu, dan juga fakta bahwa seumur hidupku kuhabiskan untuk belajar dan bekerja. Kau tahu sejarah percintaanku yang tidak terbalas, dan selebihnya tidak ada hal lain yang membanggakan dariku."

My Beloved Alisia [18+] [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang