Dua Puluh Dua

4.1K 452 11
                                    



"Kenapa harus dengan Kerajaan Byzantine? Kudengar situasi politik mereka sedang tidak stabil. Siapa Putri Helena? Apakah dia Putri dari Phocas? Kudengar Phocas sedang melakukan perebutan kekuasaan."

"Oh," Alexei tertawa. "Tidak kusangka dalam waktu sesingkat itu kau bisa mencari begitu banyak informasi. Helena adalah Putri dari Maurice, Raja yang sekarang."

Alisia mau pingsan mendengarnya. "Katakan padaku bahwa ini semua bohong dan kau bisa membatalkan semuanya."

Alexei menggeleng. "Sayangnya tidak bisa, kami sudah meminta izin khusus ke Uskup."

Alisia hampir saja terjatuh kalau saja Ambrose tidak menangkap bahunya. "Hei! Apakah kau sudah gila!"

"Alisia sayang, aku harus melakukannya. Aku tidak mungkin membatalkannya. Secara tidak resmi, kami sudah menikah kemarin. Secara resmi, beberapa hari lagi setelah pesta diadakan."

"Kau..." Alisia menyentuh keningnya, kehabisan kata-kata. Firasat buruk muncul ketika matanya menyelidiki ekspresi Alexei yang tak tergoyahkan. "Jangan bilang kau sudah menaruh tanganmu pada putri Byzantine itu..."

"Tentu saja, untuk menyegel kesepakatannya, aku sudah menodai sang putri."

"Menyegel... Astaga, demi Tuhan..." Alisia terhuyung, merasa kepalanya makin sakit.

Ambrose maju untuk menahan bahu Alisia, mencegah istrinya pingsan karena terkejut. Sejujurnya, sejak mengamati cara Alexei menyampaikan semuanya dengan santai sedari tadi, Ambrose sudah bisa menebaknya.

Alexei memang selalu menampilkan tingkah laku yang seenaknya dan kadang konyol, tetapi beberapa kali pria itu menyelipkan ekspresi serius dan tak terbaca, Seolah apapun keputusan yang telah diambilnya tidak akan bisa diganggu gugat lagi, dan Ambrose bisa menangkap kesan tersebut. Sebenarnya, saat Alexei serius dan keras kepala, Ambrose tak urung teringat pada Byron. Dalam hal-hal kecil seperti ini, dua saudara sepupu itu terlihat mirip. Mereka akan tetap maju ketika yakin dengan pilihannya. Dan nyaris mustahil untuk bisa menggoyahkan mereka lagi.

"Bisakah aku berbicara sebentar dengan istrimu?" Alisia menghela nafas dan menyerah. Setidaknya, ketika pernikahan mereka bukan lagi sesuatu yang bisa diubah atau dibatalkan, dirinya tetap perlu mengenali calon pengantin saudaranya yang bandel.


-000-


Alisia meminta pelayan menyiapkan kue dan teh panas di ruang perpustakaan, dan menunggu dengan sabar sampai akhirnya kedatangan Putri Helena diumumkan oleh pengawal penjaga pintu.

Ketika akhirnya Alisia bertemu dengan Helena, gadis itu tampak bersahaja dan menawan.

"Kita tidak pernah bertemu sebelumnya," ujar Alisia sambil tersenyum, berusaha mencairkan suasana.

Helena mengangguk dan menekuk lututnya memberi salam, tetapi Alisia buru-buru menyuruhnya bangun.

"Kau akan menjadi Ratu dari Avar, sementara aku hanyalah seorang Duchess of Hancock dari Lombards. Jangan pernah menundukkan kepalamu sembarangan ke depannya, Yang Mulia."

Helena berterima kasih dengan wajah malu. "Putri Alisia benar, aku masih belum terbiasa. Maafkan aku." Helena menutup mulutnya. "Aku juga akan berusaha untuk tidak sering meminta maaf mulai sekarang."

Untuk ukuran seorang Putri, Helena terlalu rendah hati, juga sama sekali tidak terlihat glamour seperti putri bangsawan pada umumnya. "Aku hanya mendengar sebagian kecil dari Alexei. Dan kau mungkin bisa pelan-pelan mengetahuinya, tetapi saudara lelakiku itu sangat malas menjelaskan."

Helena mengangguk membenarkan. Senyum kecil terukir di wajahnya, sekaligus sekilas perasaan tidak enak karena menyebabkan keributan. "Kalian pasti terkejut. Aku juga mendengar kabar pernikahanmu dengan Duchy Hancock. Melakukan perjalanan setelah pesta pernikahan pasti sangat melelahkan."

Inilah masalahnya, Alisia tersenyum murung sambil menatap wanita di depannya. Helena ini terlalu baik untuk menjadi istri saudaranya yang bejat. "Tidak perlu memikirkan kami. Aku sudah terbiasa bertualang. Kau mungkin mendengar rumor bahwa aku seringkali tidak bertingkah seperti seorang putri pada umumnya, tetapi rumor itu benar. Lalu rumor lain tentang perilaku nakal Alexei, itu juga benar. Dia memang jarang bersikap serius dan sudah cukup banyak membuat wanita patah hati."

Helena mengamati Alisia ragu-ragu meremas tangannya. Ia tersenyum kecil dan balas menepuk lembut tangan saudari iparnya itu. "Aku tahu, aku tidak berharap akan cintanya. Aku datang kemari karena terjadi pemberontakan di Byzantine. Selain perjanjian pernikahan yang menguntungkan kedua belah pihak, tidak ada perasaan lain yang terlibat, jadi Putri Alisia tidak perlu cemas bahwa aku akan patah hati."

Kejujuran Helena malah membuat Alisia semakin kasihan. "Kau cantik. Kurasa ketika kau meminta bantuan kepada Kekaisaran Romawi, mereka akan membantumu. Kenapa kau malah memilih Avar? Kami juga tidak punya prajurit sekuat tentara Romawi."

"Kekaisaran memilih netral, walaupun ada beberapa bukti mengatakan beberapa pihak mereka terlibat diam-diam. Aku tidak berani bertaruh dan terjerumus lebih parah. Lagipula, dibandingkan saudaraku yang lain, hanya ini yang bisa kulakukan."

Alisia menghela nafas. "Bagaimana keadaan Ayahmu?"

"Kabur. Entah ke daerah barat atau selatan. Tetapi tampuk kekuasaan sudah dipegang oleh Pochas. Tidak ada kemungkinan melawan dan bertahan. Jalan satu-satunya hanya melakukan serangan tiba-tiba setelah mereka semua mengira mereka telah menang."

"Seorang putri hilang dari kerajaannya, tentu mereka tetap akan memasang posisi siaga."
Helena menggeleng. "Aku salah satu dari Putri yang tak bernama. Pamanku membesarkanku, jadi aku ragu kalau Baginda sendiri menyadari bahwa ada seorang putrinya yang menghilang."

Alisia terpekur dan menatap Helena yang terdiam. Pantas saja Helena tidak bertingkah laku glamor layaknya seorang Putri Raja. Gadis itu dibesarkan seperti seorang keluarga tiri, dititipkan kepada keluarga Pamannya, seolah tidak diakui secara resmi. Alisia pernah mendengar selentingan bahwa Raja Maurice melakukan banyak hal untuk menjaga kelangsungan keturunan kerajaan, di antara membuat anak di mana-mana. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tidak semua Putri dan Pangeran yang tercatat di silsilah kerajaan sudah mewakili kenyataan. Keberadaan Helena adalah salah satu buktinya.

"Aku paham. Bagaimana dengan Pamanmu?"

"Pamanku terlebih dahulu menghimpun kekuatan dan pergi ke Selatan. Kalau ada tentara bantuan datang, kita akan bersama-sama mengepungnya dari Utara dan Selatan, agar tidak ada celah lagi untuk melarikan diri."

Helena bergerak gelisah, terlihat malu-malu ketika menatap Alisia ragu. "Putri, apakah menurutmu Alexei akan menepati janjinya untuk membantuku? Karena kau tahu... setelah malam itu... ehm... tidak ada lagi yang bisa kutawarkan."

Pada saat seperti ini, Alisia ingin sekali menjitak kepala Alexei karena sudah berlaku kurang ajar dan membuat Helena merasa tidak tenang.

"Alexei memang brengsek, tetapi ia memegang teguh janjinya. Kalau ia tidak melakukannya, aku akan mengingatkannya. Jangan khawatir..."

Helena tersenyum menerima jawaban Alisia. "Anda baik sekali."

"Sebaliknya," Alisia menarik nafas sebelum bertanya. "Aku ingin tahu... apakah ia... Maksudku Alexei, mengasarimu? Kau tidak perlu takut untuk memberitahuku."

"Oh tidak," Helena tampak terkejut dengan pipi memerah. "Ah, aku... tidak punya pengalaman dalam bidang itu, tetapi kurasa ia sama sekali tidak mengasariku."

Alisia tersenyum lega mendengarnya. "Baiklah kalau begitu. Kurasa, aku harus menyambutmu dengan resmi. Selamat datang di keluarga Dragomiroff, Putri Helena."

"Terima kasih Putri Alisia," senyum Helena malu.

"Baiklah kalau begitu, kurasa kita bisa memanggil para pria lain dan bersiap untuk menyusun strategi perang."

Mata Helena terbelalak. "Secepat ini?"

"Tidak boleh ada waktu yang terbuang, bukan?"

>>>TBC

My Beloved Alisia [18+] [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang