PS: 18+ please be a wise reader
Bibir mereka bertautan, nafas mereka beradu. Kepala Ambrose terasa sakit akibat gairah yang meledak-ledak. Ambrose menghitung satu sampai sepuluh di dalam hati, mencoba mati-matian mengontrol dirinya. Kalau memang masih ada energi yang tersisa, ia harus menggunakannya untuk mendinginkan kepalanya.
Tetapi Alisia berada di depannya, berada dalam cumbuannya. Terlalu dekat, terlalu memesona, dan terlalu indah untuk ditolak.
Sebagai pria yang sejati, yang bisa bersikap layaknya gentleman, Ambrose tahu bahwa ia harus mengontrol dirinya kuat-kuat. Karena Alisia tidak mau menikah dengannya, jadi Ambrose tidak boleh sampai melanggar batas itu.
"Menyenangkan," komentar Alisia sambil memutar tubuhnya membelakangi Ambrose. Ambrose sedikit menghela nafas lega. Lebih sulit mengontrol pengendalian dirinya saat gadis itu berhadapan dengannya, tubuh mereka bersentuhan dan nafasnya ada di wajah Ambrose.
Pinggul Alisia bergerak lagi, kali ini bokongnya yang bulat menyentuh kejantanan Ambrose yang menegang, dan Ambrose hampir menyumpah serapah dalam hati. tangannya yang semula menyentuh kepala Alisia berpindah ke tepian bak mandi, mencengkeram tepiannya erat-erat sampai seluruh urat tangannya terlihat.
Alisia bergerak di depannya, praktis menyandar. Gadis itu tertawa, jelas menyadari bahwa Ambrose sedang berusaha bersemedi dan mengosongkan pikiran.
"Kau yang paling hebat di antara semuanya, tidak memintaku bercinta sekalipun sudah tiga malam kau habiskan denganku."
Ambrose tidak mau berterimakasih. Pujian Alisia terasa kosong.
"Bercinta tidak harus bersanggama," jawab Ambrose pendek.
Alisia tertawa, kaget. "Kosakata yang luar biasa, tidak kusangka akan kudengar dari mulut seorang Ambrose Hancock."
Ambrose merenggut, karena jelas di mata Alisia dirinya tampak seperti pria kolot dan kaku. "Jadi aku nomor berapa?" tanya Ambrose, merasa ada sesuatu mengganjal di hatinya.
"Entahlah," Alisia menjawab asal. "Aku tidak pernah menghitung."
Ambrose terdiam. Hanya ada suara kecipak air. Mata Alisia terpejam sementara gadis itu menyenandungkan pelan lagu, tampak luar biasa santai.
"Kenapa kau tidak mau menikah denganku?"
"Tidak hanya denganmu," koreksi Alisia dengan nada yang manis. "Kau jangan menganggapku tidak merasa bahwa dirimu menarik. Aku tidak mau membuatmu rendah diri."
Lagi-lagi jawaban yang membingungkan, nyaris seperti teka-teki.
"Kalau begitu, kenapa kau tidak mau menikah? Dengan siapapun itu?"
"Nada suaramu terdengar seperti sesi pertanyaan ketika kau mau merekrut pejabat istana, bukankah begitu?"
Ambrose berdehem dan menatap langit-langit. Ia susah berkonsentrasi dengan tubuh menggoda di depannya. Praktis menempel tanpa prasangka buruk. Atau mungkin Alisia sengaja menggodanya, itu pikiran yang ingin Ambrose enyahkan karena sungguh rasanya sakit sekali menahan hasratnya yang sekarang meledak-ledak.
Ambrose ingin melambaikan bendera menyerah tetapi ia sungguh merasa kalah. Dirinya sungguh berada dalam genggaman Alisia. Alisia hanya membutuhkan tiga hari untuk menyentil ego dan gairahnya.
"Kau tahu?" tanya Alisia mendadak setelah lama terdiam. "Avar tidak memiliki peraturan yang mengatakan bahwa Kerajaan hanya bisa dipimpin Raja."
"Ah," Ambrose mengangguk. "Aku pernah mendengarnya, bukankah mendiang Ayahmu yang mengubah peraturannya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Alisia [18+] [COMPLETED]
Historical FictionPutri Alisia Boryanovna Dragomirov, putri mahkota dari kerajaan Avar adalah cerminan wanita cantik namun tangguh yang membuat banyak pria gentar. Anehnya, sekalipun Alisia tampaknya sama sekali berbeda dengan tipikal wanita yang diinginkan seorang A...