Tiga Belas

5.1K 588 4
                                    

13


"Alisia tersayang,

Kurasa ketika menerima suratku, kau sudah mendengar sebagian besar berita tentangku. Jadi kuputuskan bahwa aku tidak perlu berbasa-basi maupun berbohong.

Singkatnya begini, di hadapanku hanya ada dua pilihan: antara diriku yang berkorban atau diriku yang mengorbankan seseorang.

Oleh karenanya, kuputuskan untuk memilih yang pertama.

Lagipula, dalam masa depan yang kau pikirkan, tidak pernah ada diriku.

Kurasa ketika membaca kalimat ini, kau akan mengerutkan kening indahmu itu.

Tidak, jangan sampai kau mengira aku menyalahkan keputusanmu yang tidak ingin menikah dengan siapapun selama hidupmu.

Karena aku sangat memahami prinsipmu dan aku menghargainya, jadi jangan menyalahkan dirimu.

Selain itu, setelah kupikir-pikir lagi, menikah mungkin tidak akan seburuk itu.

Aku hanya perlu belajar untuk berusaha menyayangi seseorang sejak menikah dengannya.

Tidak terdengar terlalu buruk.

Kau hanya perlu mengetahui satu hal, aku memilih keputusan yang pertama ini karena dirimu tidak pernah ada dalam pilihan yang mungkin kupilih.

Apapun yang telah terjadi di antara kita, aku akan mengenangnya sebagai salah satu momen terbaik dalam hidupku.

Kuharap kau bisa berbahagia, Alisia, dengan ataupun tanpa diriku.

-Dari Ambrose yang peduli denganmu-"

Ambrose menepati janjinya untuk mengirimkan surat kepada Alisia. Hanya saja, surat dari Ambrose membuat Alisia menarik nafas. Alisia menyenderkan dirinya di kursi, memejamkan matanya, dan menghela nafas, merasakan dirinya lelah dan dadanya terasa berat.

Haruskah ia membalas surat Ambrose?

Alisia menarik pena bulu dan meletakkannya kembali, mengurungkan niatnya. Apakah ia perlu membalas surat dari Ambrose, atau sebaiknya membiarkannya? Lagipula, Ambrose benar, sama sekali tidak ada masa depan bagi mereka berdua. Jadi, membalas maupun tidak membalas, tidak akan ada yang berubah.

Tuk-tuk

Terdengar ketukan lembut di pintu. Alisia terlalu hapal dengan suaranya, pelan, ia menjawab: "Masuklah, Alexei."

Alexei masuk dengan langkah ringan dan berjalan ke ranjang Alisia lalu berbaring di sana senyaman mungkin, seolah kamar itu adalah kamarnya sendiri. Sambil merenggangkan kakinya dan menguap malas, Alexei melirik Alisia yang masih duduk dengan wajah termenung di depan mejanya.

"Jadi, apakah kau akan membalasnya?" Alexei bertanya tanpa basa-basi.

"Dari Ambrose yang peduli denganku," bisik Alisia muram. "Pria itu bahkan tidak pernah memaksakan perasaannya padaku. Dia terlalu baik untukku. Aku sungguh berharap dia bisa bahagia."

"Dengan membiarkannya membahagiakan gadis lain, mencoba semuanya lagi dari awal?"

Alisia mengedikkan bahu. "Seharusnya tidak seburuk itu."

"Oh, tentu saja seburuk itu. Bisakah kau membayangkan dirimu menikahi pria busuk yang dulu menodaimu?"

Alisia bergidik dan memejamkan mata. "Kau kasar, Alexei."

Alexei mengangkat tangan, "Memang, aku keterlaluan. Maafkan aku. Tetapi, rasanya memang seburuk itu. Atau kau bisa membayangkan, menikahi seseorang yang sama sekali tidak kau kenali hanya agar dirimu tidak perlu mengorbankan diriku. Bedanya, Ambrose tidak punya pilihan untuk tidak menikah, tidak seperti dirimu."

My Beloved Alisia [18+] [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang