Alisia mengusir Ambrose setelah pria itu menyampaikan lamaran pernikahan. "Kau menuruti hatimu, bukan otakmu yang biasanya rasional dan brilian. Semua ini hanya karena aku adalah wanita pertama yang naik ke ranjangmu," tolak Alisia dingin.
"Aku sudah memikirkan ini dengan matang..."
"Aku butuh beristirahat, kau boleh pergi."
"Apakah aku boleh menemanimu nanti malam?" Ambrose berusaha membujuk.
Alisia tersenyum lemah. "Tidak, karena begitu kuijinkan, kau mengira punya harapan untuk membujukku. Kau boleh berada di sisiku selama kau tidak punya harapan palsu untukku."
Ambrose mengangguk dan pamit keluar dari kamar Alisia. Seperti halnya Ambrose tahu bagaimana ekspresi wajahnya ketika Alisia menolaknya, gadis itu pasti tahu jelas bahwa mustahil bagi Ambrose untuk tidak berharap ketika mereka berdua dengan jelas saling menginginkan satu sama lain. Mungkin bagi Alisia, bukan sebagai pasangan seumur hidup yang diikat dalam kaul pernikahan. Setidaknya secara nafsu manusiawi, mereka bergairah akan satu sama lain.
Ambrose berjalan menyusuri lorong Istana dan memandang keluar melalui jendela tinggi yang terletak di sepanjang selasar koridor. Seperti biasanya, cuaca di Avar terlihat muram.
"Bisa kulihat kalau kau pun tidak bisa membujuknya," ujar sebuah suara.
Ambrose yang mengenali pemilik suara tersebut langsung berlutut dan memberi hormat. "Salam kepada Raja Avar, Alexei Boryanovich Dragomirov. Kejayaan seluruh bangsa tunduk di bawah kaki Baginda."
Alexei mengibaskan tangan dan semua pengawal yang menjaganya mundur beberapa langkah, memberikan privasi kepada Ambrose dan Alexei.
"Kau tampak tidak bersemangat." Alexei melirik wajah Ambrose yang terlihat merenggut. "Ngambek karena adikku menolakmu?"
"Siapa bilang aku ngambek?" Ambrose mau marah, tetapi melihat ekspresi Alexei datar, ia malah tertawa. "Ha! Tidak kusangka kosakata seperti ngambek ada pada kamus seorang Raja."
"Yah, aku juga manusia biasa. Entah kenapa dari ribuan kata yang kutahu kata itu paling tepat menggambarkan ekspresi wajahmu sekarang."
Ambrose melengos. "Aku tidak bisa memahami jalan pikiran Alisia, itu saja."
"Alisia hidup dengan keras. Aku bukan Raja yang baik. Oleh karena itu, masih ada pihak yang berusaha mencari celah lewat dirinya."
Ambrose terdiam, berusaha menyerap informasi sebanyak-banyaknya. "Bagaimana dengan racun? Berdasarkan pengakuan Alisia, dia tahu benar dosis racunnya. Dan racun tersebut berasal dari Raja terdahulu. Ayahanda kalian."
Alexei menghela nafas dan sudut rahangnya terlihat keras. "Ayahku adalah pemimpin yang absolut. Kalau semua orang takut pada Raja terdahulu Frankish karena kebengisannya, di Avar, berbeda. Mereka takut pada Ayahku, karena tangan besinya."
Alexei menilai tatapan Ambrose dan melanjutkan. "Ayahku memastikan Alisia tahu seluruh konsekuensi menjadi seorang Puteri Mahkota. Aku dan Alisia, tanpa terkecuali, kami berdua sudah berlatih meminum racun sejak kecil. Karena itu, racun biasa tidak akan bisa membunuhku."
Ambrose tertegun.
"Bagaimana dengan cambuk yang selalu dibawanya kemanapun?"
Alexei ingin bicara tetapi membatalkannya. Sebagai gantinya, ia malah bertanya: "Kau sudah sejauh apa dengannya?"
Ambrose memalingkan wajah dan membalas dengan gusar: "Tidak apa kalau tidak bisa dijawab sekarang."
"Kutebak kalian sudah cukup jauh," Alexei mengedikkan bahu santai. "Aku tidak tertarik ikut campur pada percintaan Alisia. Aku tidak mau dicambuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Alisia [18+] [COMPLETED]
Historical FictionPutri Alisia Boryanovna Dragomirov, putri mahkota dari kerajaan Avar adalah cerminan wanita cantik namun tangguh yang membuat banyak pria gentar. Anehnya, sekalipun Alisia tampaknya sama sekali berbeda dengan tipikal wanita yang diinginkan seorang A...