18. GOSIP

3.4K 561 93
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

🕊️🕊️🕊️

"Dokter Atha panggil kamu apa, Wa? Ibu jadi kepo, nih? Ayang, atau Wawa kayak Aidan?"

"Dia nggak punya panggilan buat aku, Bu."

"Terus kalau ngomong gimana?"

"Ya biasa aja ngomong." Aku mengajak Aidan ke rumah ibu. Membiarkan dia bermain dengan Tiara. Supaya akrab. Kini aku bisa duduk santai di sini.

"Ya kan pasti punya panggilan apaa gitu. Kan kalau A Romi ke Hasna 'Yank'. Ibu suka denger tuh dia manggil kakak kamu 'Yank'. Kalau minta sesuatu manggilnya gitu."

Aku mengingat kebersamaanku dengan Mas Atha selama beberapa hari ini. Mengingat bagaimana kalau dia bicara, bertanya, dan lain sebagainya. Sekarang aku baru sadar, semenjak menikah dia tak pernah sekalipun memanggil namaku atau menggantinya dengan sebutan lain.

"Boro-boro Yank, Sayang, Bu. Kalau sampai dia panggil aku 'Sayang', wah, bakal ada angin puting beliung, hujan angin dor-dar gelap. Semua kaca di rumah pecah! Banjir bandang melanda desa ini! Dia nyebut nama aku aja nggak pernah!"

"Astagfirullah. Masa, sih, Wa?" Ekspresi ibu semakin serius, duduk di sebelahku. Mimiknya sama seperti saat nonton Uttaran dan Aldebaran, khusyuk.

"Halwa, kamu udah sholat? Halwa, kamu udah makan? Kayak gitu aja nggak pernah, Bu. Boro-boro! Palingan begini. Ekhem." Aku mulai meniru gaya bicara Mas Atha kalau bertanya. "'Udah makan?' 'Udah sholat?' Nggak sekalian udah berak belum, Wa? Terus setelah aku jawab, ya udah, nggak ngomong lagi. Kalau aku jawab belum makan kan biasanya suami nawarin gitu, ngebujuk makan, bilang kasian perutnya kalau dibiarin. Lah ini mah enggak, Bu. Kalau aku jawab belum ya udah, 'oh' doang. Padahal aku pengennya gini : Makan dong, Yank. Nanti kalau sakit gimana? Aku masakin, ya? Delivery, ya?Mau pizza? Mau burger-nya Tuan Crap ala Chef Spongebob itu? Aku rela menyelam lautan Bikini Buttom, deh demi kamu. Kalau kamu nggak makan nanti aku juga nggak bakal makan biar kita MATI SAMA-SAMA KARENA KELAPARAN. Biar dramatis gitu, lho, Bu."

"Istigfar, Wa, astagfirullah .... Tapi emang gitu doang, Wa?" Ibu geleng-geleng kepala.

"Iya, Ibu. Iya harusnya, sih, ya, dia itu panggil aku 'Dek'. Konsepnya, sih, harusnya begitu. Aku panggil dia 'Mas' harusnya dia panggil aku 'Dek'. Ah, tapi ya udahlah, mau gimana lagi, emang gitu orangnya. Makanya aku itu punya panggilan khusus buat Mas Atha." Aku mengambil keripik singkong yang ada di toples, dan memakannya.

"Apa?"

"Kembaran Kulkas."

"Astagfirullah, Wa! Sadar, suami itu! Kwalat kamu ngatain suami. Kok kembaran kulkas."

"Dingin, Bu. Dingin banget. Cool. Dia itu kembaran kulkas, tapi bukan kembar identik. Di kontak aku juga aku namain Mas Atha Kembaran Kulkas biar nyaho dia itu! Biar peka!"

"Duh, yang sabar, ya Wa." Ibu mengelus pundaku. "Emang dia nggak marah kamu kasih nama itu di kontaknya?"

"Enggak, kok. Dia mah no protes."

"Hahaha... Tapi lucu juga, sih. Hadeuuuuh, beda banget sama suami kakak kamu."

"Ya nggak pa-pa, lah, Bu. Mungkin itu kekurangan dia. Walaupun nggak ada romantis-romantisnya, tapi dia baik, kok."

"Alhamdulillah, deh, kalau baik. Itu yang paling penting, kok, Wa. Lelaki itu yang paling penting adalah rasa tanggung jawabnya. Cuma sabarin aja hati kamu, mungkin Dokter Atha emang kaku orangnya. Nggak bisa romantis."

Stay With You √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang