28. HUKUMAN

3.9K 629 188
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

🕊️🕊️🕊️

Tidak pernah aku merasakan setakut ini dalam hidupku saat melihat Aidan dilarikan ke IGD. Segala pikiran buruk berkecamuk dalam kepalaku. Pikiranku buntu. Hatiku memohon pada Allah agar Aidan baik-baik saja. Di perjalanan ke rumah sakit dia kehilangan kesadaran, membuatku semakin panik tak keruan. Tadi aku meminta bantuan kepada Mbak Fika. Dan di sinilah kami sekarang, menunggu Aidan yang sedang ditangani dokter di IGD. Tak henti-hentinya Mbak Fika memarahiku karena keteledoranku. Aku yang juga merasa bersalah tak bisa membantah segala ucapan buruknya padaku.

Tapi siapa yang mau ini terjadi? Alergi Aidan kambuh bukan mauku. Ini terjadi di luar kendaliku.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya dokter keluar menemui kami.

Dokter itu adalah suamiku. Ayah dari anak yang kini entah bagaimana keadaannya. Mbak Fika segera menghampiri Mas Atha dan bertanya soal Aidan.

"Aidan kena syok Anafilaksis yang nyebabin tekanan darah dia turun dan pingsan. Kalau terlambat beberapa menit aja, aku nggak tau apa yang bakal terjadi sama dia, Mbak."

*Anafilaksis adalah reaksi alergi berat dengan onset yang cepat dan dapat menyebabkan kematian. Salah satu gejalanya adalah sesak nafas.

"Ini semua gara-gara istri kamu, Atha."

Mas Atha menarik tanganku, menjauh dari area IGD.

"Kenapa alergi Aidan bisa kambuh? Kenapa dia bisa makan kacang?"

"Itu tadi aku beli cokelat, Mas. Aku tinggalin Aidan sebentar, pas aku kembali ternyata dia makan cokelat itu ...."

"Sengaja ya kamu, Halwa?! Tau nggak, Atha? Bantal Aidan rusak gara-gara Halwa! Pasti Aidan nangis. Dan Halwa bujuk pakek cokelat!" Mbak Fika ikut mendekati kami. Entah kenapa dia malah memfitnahku seperti itu.

"Nggak begitu, Mbak! Sumpah demi Allah!"

"Tunggu ... bantal Aidan rusak?"

"Iya, Atha. Bantal Aidan rusak parah. Tadi Mbak liat sendiri gimana wujudnya. Aidan makan kacang juga mungkin gara-gara ini."

"Bener?" tanya Mas Atha padaku.

Perlahan aku mengangguk.

Mas Atha mengusap keningnya.

"Maaf, Mas. Aku juga nggak tau kenapa bantalnya bisa rusak. Aku cuma jemur ...."

"Jemur?"

Aku mengangguk lagi.

"Ya Allah, Halwaaaaaaa ....."

Aku memejamkan mata sambil menunduk. Dia menyebut namaku. Tandanya Mas Atha marah. Untuk sekarang pun aku tak bisa menatap wajahnya. Aku tak sanggup melihat kemarahannya lagi.

"Apa kejadian beberapa waktu lalu nggak kamu jadiin pelajaran?"

"Aku pikir ....."

"Aku pikir aku pikir aku pikir ...." potongnya gemas.

"Maaf, Maaas ...."

Mas Atha terdiam.

Aku mendongak, terlihat wajahnya memerah. Aku mencoba memegang tangannya, tapi ditapis.

"Kamu nggak becus jaga anak. Mulai sekarang jangan sentuh Aidan lagi."

"Aku minta maaf, Mas. Tapi tolong jangan bilang begitu. Kenapa kamu ...."

"Halwa, kamu ini emang beneran nggak bisa ngasuh anak dengan baik. Sekarang kamu lagi hamil nggak tau tuh nanti nasib anaknya gimana ...."

"Mbak, cukup! Jangan ikut campur sama masalah aku!" Mas Atha menghentikan Mbak Fika dengan mengangkat tangan.

Stay With You √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang