46

299 20 0
                                    

"Belum siap kehilangan."



"Acha!"

Acha mendongak kearah sumber suara menampilkan Febrian dengan berantakan, tubuhnya basah kuyup. Dia memutuskan  untuk pergi karena ada telepon dari orang tuanya dan kembali lagi dengan keadaan basah kuyup karena hujan  lebat.

"Pergi, Lo pergi!"

Acha menangis histeris, Siska dan Putri yang ada di sebelahnya sontak memeluknya erat. Febrian tersenyum miris, niatnya dia ingin meminta maaf tapi pemiliknya tidak menginginkan maaf itu.

Laki-laki itu mendekat kearah Acha yang sedang menggelengkan kepalanya. "Jangan mendekat, gue mohon lo pergi dari sini. Gue engga mau liat lo lagi!" Acha menunjuk Febrian.

Febrian terus mendekat, dia berada dihadapannya gadis yang sedang dipeluk oleh ke-dua sahabatnya. Gadis itu terus menggelengkan kepalanya, tangisnya begitu memilukan membuat sang Mamah menghampiri. Tapi, wanita parubaya itu lebih memilih melihatnya saja biarlah mereka menyelesaikan masalahnya.

Karena, dia tau anaknya sudah besar. Dia sudah bisa membedakan yang benar dan juga salah dalam hidupnya, tugasnya hanya mengarahkan saja.  Febrian memberi isyarat pada Siska dan juga Putri untuk melepaskan pelukannya. Biar tubuh laki-laki kekar saja yang memeluk gadis yang sedang menangis histeris itu.

Febrian memeluk Acha dengan erat tapi gadis itu terus memberontak, berusaha melepaskan pelukannya.

"Pergi!"  Kata itu yang terus diucapkan oleh gadis itu.

"Oke, gue pergi tapi tolong dengerin penjelasan gue dulu," bisiknya, gadis itu menggelengkan kepalanya. Dia tak mau mendengarkan penjelasan dari mulutnya, dia kecewa. Hatinya sakit di bohongin bertahun-tahun walaupun itu bukan sepenuhnya salah dia.

"Pergi, gue engga mau denger apa pun yang keluar dari mulut lo!" Dia tidak perduli bajunya basah karena  peluk oleh Febrian.

Febrian menghela napas pasrah, dia melerai pelukannya dari gadis itu. Walaupun, dia sedikit kecewa karena niat baiknya tidak membuahkan hasil yang baik, tapi setidaknya dia bisa melihat kekasih hatinya baik-baik saja.

"Oke, gue pergi. Lo jaga diri baik-baik."

Febrian melenggang pergi begitu saja setelah mengambil helm-nya dan juga kunci motor yang dia letakkan di atas meja.
Tubuh gadis itu luruh ke bawah, dia menggelengkan kepalanya. "Gue engga benci sama dia, tapi gue kecewa."

Siska, Amel dan juga Putri mengelus pundak Acha. "Gue tau tapi seharusnya lo engga kayak tadi kalau lo engga benci sama dia, Cha."

Gadis itu hanya menangis meratapi kepergian sahabatnya. Aldi, Ali dan Fadil tidak bisa berbuat banyak sekarang. Mereka hanya bisa berdoa supaya semuanya baik-baik saja.

"Nak!"

Acha sedikit menoleh kearah Sari, wanita parubaya itu mendekat dan duduk di depan anaknya yang tengah terduduk meratapi nasibnya. "Nak, jangan pernah membenci seseorang yang pernah kamu impikan akan hidup kembali. Kita tidak tau, Nak. Hidup ini akan berakhir kapan? Harusnya kamu senang, biarlah kesalahan itu anggap saja mimpi buruk di siang hari dan saat bangun, kamu memulai lagi dengannya. Seharusnya, kamu tak seperti itu. Semua bukan salahnya dia, Ayah dan Mamah yang salah di sini. Jangan melampiaskan sesuatu yang bukan miliknya, dia juga engga tau kalau kami memalsukan kematiannya saat itu. Kamu berhak kecewa tapi bukan seperti tadi, kamu sudah dewasa bisa membedakan yang benar dan juga salah."

Acha menunduk. "Maaf, Acha salah."

Tangan Sari mengelus rambut anaknya. "Minta maaflah pada Febrian, Nak. Dia sayang banget sama kamu, jangan pernah sia-siakan seseorang yang ada di sini."

Acha mengangguk. "Nak, kamu marah sama Ayah sama Mamah?" 

Acha mengeleng. "Acha engga pernah marah sama kalian semua apalagi lagi Febrian. Acha hanya kecewa segitu banyaknya rahasia yang buat Acha kecewa dengan keadaan, semuanya terasa ancur, Mah."

Sari menghela napas berat. "Mamah tau, biarlah dia mengalir dengan damai, Nak. Lebih baik memaafkan dari pada terus-terusan membenci seseorang yang sangat berarti dalam hidup. Biarlah, rasa kecewa terobati oleh waktu, mungkin memang rasa kecewa kalau dibiarkan akan terus menggangga  tapi setidaknya jangan pernah menganggap itu adalah nyata. Anggaplah mimpi karena mimpi adalah bunga tidur yang tidak pernah menjadi nyata sampai kapanpun."

Acha mengangguk. "Acha akan berusaha memaafkan kesalahan dia tapi Acha engga yakin ... setiap Acha liat wajah dia." Gadis itu menjeda ucapannya.

Acha menghela napas terlebih dahulu. "Selalu saja, marah tapi sebenarnya tidak marah."

"Jangan pernah menatap orang tersebut dengan kebencian, menataplah orang itu dengan kebaikan yang pernah dia lakukan pada kita. Apakah dia baik sama kamu?"

Acha mengangguk. "Sangat baik, Mah."

Sari dan yang lainnya tersenyum. "Itu 'kan, jadi lebih baik menatapnya cara seperti itu karena manusia pernah melakukan kesalahan baik Mamah, Ayah, Febrian dan teman-teman kamu."

Acha menghela napas, perasaannya lebih lega sekarang. Nyatanya benar, lebih baik memaafkan dari pada menyimpan dendam berkepanjangan. Dan dia akan meminta maaf kepada laki-laki itu.

"Betul tuh, Cha. Jangan terlalu membenci kalau kamu cinta sama dia."

"Apasih."

"Udah-udah, jangan nangis-nangisan lagi lebih baik kita makan. Sumpah gue laper dari tadi belum makan," ucap Siska memegangi perutnya dan di angguki oleh yang lain.

Acha mengangguk lalu membisikan sesuatu di telinga Siska. "Emang sama bokap gue engga di kasih makan sampe kelaparan gini?" 

Siska pun tersenyum malu-malu. "Di kasih sih tapi itu tadi waktu di Bandung sekarang 'kan belum."

"Oke, deh, lo pada makan yang banyak biar engga mati kelaparan."

Di tempat yang lain, Febrian melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Laki-laki itu tak hiraukan pengguna lain yang terganggu karena ulahnya.

Laki-laki itu meneteskan air matanya, kecewa. Harapannya kembali ke Jakarta untuk meminta maaf pada Acha tidak membuahkan hasil. Rintikan hujan membasahi tubuhnya lagi, dia tetap melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. tidak memperdulikan licinnya aspal karena terkena hujan deras dari tadi.

Dia pantas dibenci olehnya, sebab satu kebohongan berakibat fatal kalau dibiarkan begitu lama.  Laki-laki itu rela meninggalkan orang tuanya yang sedang bersedih  karena kakak perempuannya sedang drop dan kesempatan hidupnya sangat tipis. Setelah Kakaknya dipindahkan ke Indonesia.

"Maafin gue, Acha," gumamnya di balik helm.

Mata  Febrian membelalak, saat tersadar dari lamunannya karena cahaya mobil yang menyala terang dari arah berlawanan dan  berada tetap beberapa meter dari posisinya.

Febrian mencoba untuk banting stir, namun gagal karena ia telat menghindar hingga mobilnya langsung menabrak depan mobil.

BRAKK.

Tubuh Febrian terpental sangat jauh dari motornya hingga tubuhnya terguling-guling di aspal basah dan helm-nya terlepas dari kepalanya.

Febrian meringis saat tubuh dan kepalanya menghantam aspal. Di sisa kesadarannya Febrian masih mendengar suara keramaian di sekitarnya.

Astaga, tolongin itu korbannya. Kesian.

Astaghfirullah kepalanya berdarah.

Coba panggil polisi atau ambulans.

Angkat-angkat, Hati-hati itu kepalanya.

Febrian tersenyum manis selagi terus-terusan meringis menahan sakitnya. Dia berusaha mengangkat kepala tapi nihil dia tidak bisa mengangkatnya.

"Maafin, gue Acha." Febrian merasakan kepalanya begitu sakit, pandangan kabur. Dan akhirnya dia tidak sadarkan diri.

Acha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang