"Tidak ada yang berubah dari kemarin dan juga sekarang."
.
.
.
Febrian menghela napas. "Mau gue gendong?"Acha terdiam selagi matanya menatap Febrian. Laki-laki itu menepuk pundaknya pelan sembari berkata. "Mau gak, gue gendong?" tanyanya kembali, memastikan gadis itu ingin atau tidak.
Acha menggeleng pelan. "Gak, gue masih kuat." Gadis itu berusaha untuk berdiri tapi nihil dia tak bisa menahan berat badannya sendiri, membuat tubuh gadis itu kembali oleng.
Febrian sigap menangkap tubuh Acha, memegang pinggangnya dengan kuat. Mereka saling menatap satu sama lain, Acha malingkan wajahnya sedangkan laki-laki itu membantu untuk berdiri tegak.
"Keras kepala, kan lo, gue bilang biar gue gendong. Apa susahnya sih?" Tangannya mengelus kepala Acha gemas, membuat tubuh gadis itu tidak berfungsi sesaat bahkan sarafnya tidak menunjukkan reaksi.
"Elusan ini, Mengapa elusan ini sama dengannya," ucapnya di dalam hati.
Dia pun menggelengkan kepalanya seraya bergumam 'tak mungkin' dengan sangat pelan.
"Tangan lo bisa gak diem," sentak Acha, merasa sedikit terganggu oleh elusan di kepalanya. Akhirnya, tangan laki-laki berhenti dan tidak menggerakan tangannya lagi.
"Mau gue gendong. Apa gue tinggal lo di sini?" tanya Febrian menaikkan alisnya.
Acha tampak berpikir untuk menerima bantuan Febrian atau tidak. "Hm," jawab Acha akhirnya.
Febrian pun jongkok membelakangi Acha, gadis itu menghela napas. Matanya menatap sekeliling nampak kosong dan ini aman untuk dia, tanpa berpikir panjang Acha naik ke punggung kekar milik Febrian. Ada sedikit kasihan dengan Febrian bela-belaan tidak masuk kelas hanya untuk menemani dirinya.
Kiyut....
Mereka menyelusuri koridor, untung saja koridor sedang sepi. Karena, ini masih jam pelajaran berlangsung jadi tidak ada yang menggolok-goloknya mereka berdua.
"Badan lo berat." Febrian sesekali mengatur napas, bobot tubuh Acha semakin lama semakin berat yang berada di pundaknya.
"Badan gue kecil, cupu." Acha pun tak terima dengan perkataan Febrian, tangannya mulai memukul pundak Febrian dengan keras membuat sang korban meringis kesakitan.
"Sakit bego."
"Bodo," sahut Acha sambil menenggelamkan wajahnya di punggung Febrian. Mencari tempat ternyaman untuk bersandar, Febrian menggelengkan kepalanya terus berjalan menelusuri koridor.
Febrian menjatuhkan tubuh Acha di atas ranjang Uks. Gadis itu memetik, sembari mengusap pantatnya sakit. "Febrian!"
Febrian tertawa terkikik, berjalan menuju tempat penyimpanan obat. Membawa obat osok dan menyerahkannya pada Acha.
"Nih, pake sendiri!"
Acha menerimanya. "Iya, bawel."
Acha melambai-lambaikan tangannya, menyuruh untuk laki-laki itu pergi dari sini. Meninggalkannya sendiri di sini, laki-laki malah mendengus. Tangan kanannya mengambil obat yang tadi Acha simpan di atas nakas.
Febrian membuka sepatu milik gadis yang sedang berusaha menepis tangannya. "Apasih lo, pegang-pegang kaki gue!"
Febrian tidak menghiraukan ucapannya, melempar sepatu itu ke sembarang arah. Acha memetik kala sepatunya terlempar jauh darinya. "Sepatu gue!!"
"Diem."
Acha meringis. "Pelan, pelan napa."
Febrian geram, memijat kaki gadis itu dengan keras. "Ini udah pelan, cebol."
Tangan Febrian di tepis, Acha menarik kakinya. Tidak ada perbedaan semuanya sama aja, Acha menatap Febrian tajam. "Thank you, gue engga butuh pijitan lo itu."
Febrian mendengus. "Untung gue baik."
"Hem."
Acha meraba roknya, ponsel miliknya tertinggal di kelas membuat gadis itu menghela napas. Laki-laki itu menyandarkan tubuh di kursi belakang, memainkan ponsel miliknya.
"Lo pergi aja, kehadiran lo di sini juga engga guna."
Febrian menoleh. "Lo ngomong sama gue?"
Acha memutarkan bola matanya malas, ingin sekali memakan hidup-hidup laki-laki dihadapannya.
Febrian menyebalkan. "Iya, masa tembok gue ajak ngomong. Aneh lo."
"Ya siapa tau, lo ngomong sama tembok. Biar punya temen sama-sama gila."
Acha melempar bantal yang berada di tangannya dan mengenai kepala Febrian. Gadis itu tertawa terkikik selagi melihat laki-laki itu berjalan kearahnya dengan menatapnya tajam. "Atit, kasian."
Febrian membalas melempar bantal itu, akan tetapi tidak mengenai sasaran. Acha mengulurkan lidarnya, mengejek Febrian. "Engga kena!"
Tangan Febrian memutup kedua mata Acha, membuat gadis itu berseru. "Ngapain lo, tutup mata gue, Bian!"
"Tidur!"
Tangan Febrian menyingkir dari kedua matanya. Acha menggeleng malah menyuruh Febrian pergi dari sini.
"Lo maksa banget sih, ini mata-mata gue mau tidur apa engga."
Febrian mendengus pelan, meletakkan bantal di belakang kepala Acha yang tampak tertidur tidak memakai bantal tadi. "Tutup mata lo, Tidur. Baru seteleh itu gue pergi." Febrian mengusap pelan wajah Acha beraturan supaya matanya menutup.
Gadis itu terdiam, merasakan sentuhan di wajahnya untuk sesaat. Mata gadis itu terbuka, menepis tangan yang berada di wajahnya.
"Ih, tangan lo!"
"Mangkanya tidur."
Acha menghela napas, akhirnya dia mengangguk. Sudah cukup dia berdebat dengan Febrian, dia mencari posisi yang nyaman. Mulai menutup mata dan kemudian tertidur dengan sangat pulas.
"Lo kelihatan banget kalem pas lagi tidur," decak Febrian sedikit menarik lekuk bibirnya.
Laki-laki itu terus mengamati Acha dengan lekat. Sesekali kedua sudut bibirnya tampak tertarik membentuk sebuah senyum manis.
"Lo gak berubah-rubah, Cha. Tetap sama cantik dan juga cebol dari dulu. Tinggi lo engga naik-naik kalah sama kucing gue s Hany," gumam Febrian sambil ngelus kepala Acha dengan lembut.
Cup.
"Tidurnya nyenyak, Cha," ucap Febrian sembari mengamati wajah Acha yang tak berubah dari tahun demi tahunnya.
________
KAMU SEDANG MEMBACA
Acha
Teen Fiction|Tamat| Tidak ada yang tak kenal dengan Salsabila Azzahra atau yang sering disebut dengan Acha. Gadis yang selalu mengajak Febrian untuk bertengkar, siapa yang menyangka masalah berputar terus menerus. Kenyataan begitu menyakitkan dari masa lalu...