19

301 16 0
                                    


"Cinta, ungkapkan jika di tolak itu nasib."



Lima bulan telah berlalu dengan cepat. Matahari tampaknya sedang malu-malu untuk mengeluarkan cahaya kuning kejingga-jinggaan. Angin kencang menyapu daun-daun yang berserakan di lapangan sekolah membuatnya sedikit menyebar luas terbawa angin.

Lima bulan banyak sekali perubahan. Cat dinding berubah menjadi putih dipadukan dengan warna abu di bagian bawahnya. Tak ketinggalan foto para pahlawan bangsa mendominasi setiap sudut dinding.

Febrian memberanikan diri saat itu untuk mengungkapkan isi hatinya tapi sayang gadis itu menolak. Dan hubungan mereka kembali sengang akibat penolakan tersebut,  ketika saling berpasasan satu sama lain terdiam, kata Cebol seketika hilang begitu saja. Di gantikan oleh raut wajah yang tidak bisa dia jelaskan.


Sepi itu yang terlintas di dalam hati. Sama seperti gedung sebelah perpustakaan yang sudah tidak digunakan lagi. Akan tetapi, dua insan tengah bersantai ria di  sana. Mencurahkan isi hati dan sebuah gagasan dari kepala mereka berdua.

Gadis itu duduk di bangku bekas meja baca dengan novel di pangkuannya sedangkan Febrian tengah duduk bersandar pada  dinding pembatas. Sunyi dan hening yang bisa di definisikan sekarang. Angin kencang membuat rambut bagian depannya  sedikit berterbangan.

Febrian tersenyum melihat gadis yang sedang asik dengan novel miliknya. Entah itu novel romantis, fantasi, atau yang lainnya.

"Bol!" panggil Febrian membuat gadis itu mendongak ke asal suara.

"Apa." 

Gadis itu tampak fokus buku yang ada di tangannya,  ia melirik Febrian  yang tengah menatapnya dengan tatapan sulit diartikan.

Febrian berjalan mendekat, mendudukkan pantatnya di sebuah kursi yang tak jauh dari tempat gadis itu duduk. Matanya masih lekat memandang pujaan hati dengan tatapan kagum dan penuh makna.

"Gue mau ngomong," ucap Febrian dengan sedikit ragu.

"Apa?" tanya Acha tanpa melihat kearah Febrian.

"Tapi, lo jangan marah," kata Febrian gugup seraya memainkan tangannya.

Acha mengangguk mengiyakan semuanya.

"Gue suka sama lo!"

"Terus?" Acha pura-pura tak peka dengan keadaan di sekitarnya.

"Lo mau gak jadi pacar gue?"

Acha mengelengkan kepalanya seraya matanya menatap lekat mata laki-laki di hadapannya. "Maaf, gue gak bisa." Acha menundukkan kepalanya.

Febrian tersenyum kemudian dia berdiri lalu berjalan mendekati Acha. Tangannya mengangkat wajah yang pujaan hati supaya  melihatnya dengan jelas bukan menunduk.

"Kenapa?" tanya Febrian sendu. Acha kembali menggelengkan kepalanya, seraya menahan air mata yang seakan keluar seketika.

"Kenapa!"

Benar saja Febrian meninggikan nada bicaranya, membuat Acha tersentak dan berusaha melepaskan tangan Febrian dari wajahnya.

"Gue gak cinta sama lo!"

Acha kalah. Dia tak sanggup lagi menahan air matanya walaupun hanya beberapa tetesan saja.

Febrian tertawa nyaring dan nada yang pun berubah menjadi menakutkan. Keadaan semakin rusuh, hawa dingin saling bertolak belakang dengan mereka berdua yang sedang beradu argumen.

"Gue gak cinta sama lo, cukup  jangan dekatin gue lagi. Gue muak!" Acha bangkit dari duduknya. Tiba-tiba tangannya di cekal dari belakang oleh Febrian.

"Gue cinta sama lo," gumam Febrian dengan lirih dan sendu.

"Tapi gue engga, Gue bilang engga ya engga. Lo punya telingga? Tolong jangan buat pusing dengan perhatian yang memuakkan bagi gue. Stop, jangan sok perhatian, Jangan menaruh hati ke gue karena gue gak akan bales itu semua. Stop, Plis ... Gue gak cinta sama lo. Gue gak cinta!" Acha menangis tersedu-sedu seraya menundukan kepalanya. Air mata pun meluncur dengan derasnya, dia tak kuat untuk menahan emosi dan air mata.

"Gue gak akan nyerah dapatin lo, Gue gak akan nyerah, mau lo gak anggap gue. Bodo amat. Gue sayang sama lo, Cuma lo, Cha. Gak ada yang lain. Lo mau keras kaya batu gue pasti cairin lo pake air dan itu airnya gue. Percaya sama gue, Gue gak bajingan kayak laki-laki di luar sana. Gue tulus sama lo,  Cuma lo yang ada di hati gue, gak ada yang lain. Cuma lo, Dengerin gue, gue gak akan seberengsek laki-laki yang udah meninggalin lo. Gue beda, Gue Beda. Cukup gue aja yang suka sama lo, gue sayang sama lo." Febrian bersimpuh di bawah kaki Acha seraya menundukkan kepalanya, menatap sepatu miliknya sendiri dengan sendu.

"Gue gak bisa ... maaf!" Acha pergi meninggalkan Febrian sendiri dengan keadaan masih bersimpuh di bawah. Air matanya keluar lebih deras. Sakit menusuk dada dan renung hati.

"Maaf, gue gak bisa, gue gak mau jatuh cinta sama laki-laki. Gue gak mau, Gue takut. Menaruh hati  ke orang yang engga tepat. Gue trauma sama laki-laki. Gue gak mau di tingalin kayak nyokap, Gue gak mau!"  Acha berteriak di jalan yang lenggang oleh kendaraannya, melepaskan semua yang ada di otak dan juga hatinya.

Sakit itu yang dirasakannya. Ingin sekali memulai, akan tetapi takut untuk memulai yang baru. Trauma mungkin. Entahlah sampai  kapan gadis itu seperti itu. Menangis di jalan, langit sudah berubah menjadi gelap gulita, Cahaya jingga sudah redup dari tadi. Gadis itu masih setia bersimpuh di aspal.

Kisah cinta memang memuakkan. Kadang kita dibuat seolah kita bidadari dan kadang dibuat menjadi babu yang harus selalu mengerti mereka. Lucu! Itu lebih tepat untuk cinta. Semesta sedang memainkan skenarionya dengan apik tanpa celah.

*****

"Non Acha, kenapa?"

Acha menggelengkan kepalanya, tubuhnya basah kuyup karena di luar hujan deras. Tubuh gadis itu mengigil hebat, Mbok Imah berlari mengambil handuk dan menyimpan handuk itu di pundak  Acha.

"Beneran, Non. Engga apa-apa?"

Gadis itu kembali menggelengkan kepalanya. "Acha baik-baik aja,  ke kamar dulu, ya, Mbok. Dingin mau mandi."

"Ya udah sana, Non. Jangan lupa pake iar hangat biar engga dingin."

Acha mengangkat jempol miliknya. "Siap."

Dengan  rambut basah gadis itu keluar dari kamar mandi, tangannya sibuk mengosokkannya pada rambut. Acha mengambil ponsel yang dia simpan sebelum membersikan diri  di atas nakas sebelah tempat tidur.

Duduk di pinggir ranjang dengan tangan yang masih memegang ponsel miliknya, dia menyimpan ponsel di kanan dia duduk, membereskan rambutnya dengan sisir.

Kegiatannya berhenti saat satu pesan masuk dari seseorang yang sudah lama tidak bergurau dengannya. Matanya gadis mengerut dalam, menatap notifikasi.

Ia membukanya, satu pesan dengan tempat huruf. Acha menggaruk tangannya, bingung. Apa ini ucapan dia tentang tadi?

Gadis itu mendiamkan ponsel, merebahkan diri di atas kasur. Tangannya kembali mengambil ponsel yang dia simpan kanan dia tertidur.

|Maaf|

Dada gadis itu bergemuruh bukan memaksa untuk di miliki, sudah bertemu saja bersyukur. Dia menatap layar ponsel dengan sendu seperti hilang satu huruf.

Acha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang