34

228 16 0
                                    


"Tuhan mengapa luka ini bertambah?"


Setelah mendengarkan curhatan dari Acha. Febrian mengajak teman-temannya untuk meninggalkan tempat ini dan pencarian tidak bisa di lakukan saat ini mungkin besok atau bisa kapanpun.

Saat ini mereka sedang berada di taman kota, tempat dulu Acha dan juga sahabatnya bermain bersama. Semua berpencar dengan pasangannya masing-masing. Tinggal Febrian dan juga Acha yang duduk di kursi tidak jauh dari Siska dan juga Aldi. Sekelibat kenangan masa kecilnya muncul dalam ingatannya.

"Bi, jangan lari tungguin Cha.
Ihh," teriak gadis kecil yang sedang berlari dengan pakaian gaun pink miliknya, yang membuatnya sedikit kesusahan untuk berlari mengejar Bi yang sudah mulai menjauh.

"Ayo kejar, Bi, kalau bisa!" Bi mengulurkan lidahnya mengejek Acha yang sedang berjongkok membersihkan gaunnya yang sudah kotor.

"Ih, sebel deh sama Bi. Acha engga bisa lari susah," rengeknya sembari berkacak pinggang.

"Siapa suruh pake gaun?" sindir Bi, dari kecil Bi sangat-sangat pintar menyindir orang lain seperti saat ini, dia menyindir Acha. Acha mengerucutkan bibirnya, memajukkannya ke depan membuatnya seperti Bebek.

"Jangan gitu mukanya, Bi, minta maaf, Cha," ucap Bi sembari membersihkan bekas noda yang ada di gaun milik milik Acha.

"Bi, kalau kita udah besar kita ke sini lagi, ya?" pinta Acha dengan kegirangan, gadis kecil itu sudah membayangkan mereka duduk di atas kursi dan memandang lurus kedepan.

Bi mengangguk paham, dia berusaha menyakinkan gadis kecil di sampingnya. Semoga saja umurnya panjang dan bisa menepati janjinya pada Acha.

Acha menggelengkan kepala ketika dia mengingat kembali, apa yang sudah pernah terjadi di beberapa tahun silam. "Kayaknya di sini ada kenangan indah sampe-sampe lo engga jawab omongan gue," tebak Febrian sembari menaikkan kedua alisnya.

Acha mendongak lalu ia tersenyum. "Iya, di sini gue pernah ngerasain yang namanya berjanji tanpa ada pembuktian," ucap Acha membuat kening Febrian mengerut.

"Hah?"

"Ada seseorang yang pernah berjanji sama gue  kelak ketika kita besar kita akan datang lagi ke sini. Duduk bersama dan memandang lurus ke depan sama seperti gue dan lo saat ini," jelas Acha membuat dada Febrian terasa nyeri.

"Cha, sekarang gue nepatin janji gue sama lo dulu. Walaupun lo engga tau kalau teman kecil lo itu gue. Gue belum meninggal Cha, gue sehat engga sakit kayak dulu lagi."  Febrian  memegang dadanya sesak.

"Kita ke sana, yuk," ajak Acha sembari menarik tangan Febrian, laki-laki itu pasrah mengikuti langkah kaki di depannya.

"Ke mana?"

"Ke tempat terakhir gue lihat sahabat gue. Tempatnya indah pasti lo suka," jelas Acha sembari berjalan dengan semangat. Jarak dari taman ke tempat tujuan Acha tidak jauh dan bisa berjalan kaki menuju ke sana hanya di tempuh itungan menit.

"Ke mana sih!" tanyanya pura-pura tak tau. Sebenarnya, laki-laki itu tau jalan ini. Jalan menuju rumah pohon, tempat terakhir dia mengucapkan salam perpisahan dengan gadis di depannya.

"Tah, ini tempatnya!" teriak Acha heboh.

Febrian menggelengkan kepalanya setelah melihat tingkah aneh yang jarang sekali Acha tunjukkan kepada halayak ramai.

"Masih tetap sama." 

Acha melihat sesekali, rumah pohon itu masih sangat terjaga bahkan seperti ada yang memperbaikinya dan dia tak tau siapa yang memperbaikinya.

"Sepertinya ada yang memperbaikinya."

"Engga salah gue suruh kuli buat bangun lagi tempat ini," gumam Febrian sedikit di dengar oleh Acha.

"Hah, apa yang lo bilang tadi tempat ini?" tanya Acha sembari mendudukan tubuhnya di kursi yang terbuat dari kayu yang berada di bawah pohon. Dulu ini tempat mereka melihat ikan. Ada beberapa yang berbeda di sini, tidak ada lagi kolam ikan sekarang. Hanya ada pepohonan dan juga tempat duduk. Seharusnya yang sedang mereka duduki adalah kolam.

"Tempat ini bagus, Bol."

Acha mengangguk. "Oh, kirain apa."

"Bian naik, yuk, gue belum pernah naik ke atas," pinta Acha sembari menarik tangan Febrian supaya mendekat ke arah rumah pohon. Laki-laki menghela napas sejenak saat gadis itu menariknya.  "Emangnya lo bisa naik?"

"Bisalah, enak aja kalau gue engga bisa."

"Yaudah, lo duluan nanti gue nyusul. Gue mau ke sana dulu mau pipis ke belet," ucap Febrian, gadis itu mengangguk dan mulai menaiki tangga menuju tempat rumah pohon itu berada.

Febrian berjalan kearah pohon yang lumayan dekat dengan jarak dari rumah pohon hanya lima meter saja jaraknya.
Laki-laki itu menghentikan langkah kakinya setelah sampai  bawah pohon. Netranya masih menangkap jelas tulisan yang tertulis di pohon yang dia buat dulu. Bi dan Acha, itu nama yang terukir di pohon itu.

Laki-laki itu mengusap bekas goresan yang dia buat dulu, memandanginya lalu tersenyum manis. Ingin sekali laki-laki itu jujur tentang siapa dia, tapi laki-laki itu tak mau jika suatu saat nanti gadis itu akan menjauhinya lagi.

Di lain tempat, Acha sudah di kejutkan dengan banyak sekali foto-fotonya saat kecil di sini. Dan, juga yang lebih mengejutkan lagi tulisan yang terukir di batang pohon.
Acha menggelengkan kepalanya. Pantas saja  sahabat kecilnya saat itu tidak mengizinkannya untuk naik dan ini alasannya.

Bukan licin alasan sebenarnya tapi ini.
"Kalau kamu ada pasti kamu bakal jadi laki-laki paling romantis yang aku kenal."

"Gue juga romantis kali, Bol," ucap seseorang membuat Acha menoleh ke arahnya. ."Lo mah engga pernah romantis," sahut Acha sembari matanya melihat foto-foto yang berjejeran di sana.

"Beneran gue bisa romantis kalau engga percaya gue buktiin sama lo," decak Febrian.

Acha memutarkan bola matanya. "Engga usah, gue engga percaya lo bisa jadi laki-laki romantis."

"Tuh 'kan lo engga percaya ucapan gue biar gu—" Ucapan Febrian terpotong oleh suara dari ponsel milik Acha pertanda ada yang pesan yang masuk.

Acha mengambil ponselnya ternyata pesannya dari Siska yang menanyai mereka di mana.  "Balik yuk mereka udah nungguin kita dari tadi," titah Acha dan di angguki oleh Febrian.

Febrian siap untuk melangkahkan kakinya suara milik Acha terdengar membuat langkahnya berhenti. Laki-laki membalikkan tubuhnya, menatap gadis tersebut.

"Fotoin gue dulu buat kenang-kenangan," pinta Acha sembari menyodorkan ponselnya pada Febrian, laki-laki menerimanya dengan senang hati. Mulai mengarahkan kameranya kearah Acha sebagai objek fotonya.

"Nih, udah," ucap Febrian seraya memberikan ponselnya pada Acha.

"Bagus juga," ujar Acha sembari melihat dirinya sedang berpose di dalam ponsel miliknya.

"Semoga gue bisa ke sini lagi sama pasangan gue kelak. Melukiskan lagi kisah indah di sini tentunya dengan anak-anak gue kelak."

"Semoga gue bisa ke sini lagi sama lo lagi, Cha. Melukis indahnya senja di sini tentunya bersama anak kita kelak. Semoga saja doa ini terkabul."

Acha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang