39

246 17 0
                                    

"Pelukan ini?"


Laki-laki parubaya itu tampak menegang lalu tersenyum miris. "Namanya seperti anak saya."

Acha tersenyum manis, nyatanya Ayah-nya masih mengingatnya sampai sekarang. Rasa bersyukur terus dia gumamkan sekarang.

"Anak Om yang mana, ya. Apa boleh saya tau?" tanya Febrian halus. Andrean tersenyum manis lalu terkekeh. "Engga ada di sini, dia ikut mantan istri saya. Mungkin dia sepantaran kalian."

"Apa Om udah liat mukanya?"

Andrean menggeleng. "Saya berpisah dengan anak saya ketika umur dia tujuh tahun. Sampai sekarang saya belum pernah melihat wajahnya gimana, pasti anak saya cantik," ucapnya sembari tersenyum diakhir ucapannya.

"Om, engga cari anak Om?" tanya Acha,  mulai bertanya membuat semua  sahabatnya bernapas lega. Mereka sangat-sangat menunggu Acha bertanya pada Ayahnya kalaupun laki-laki parubaya itu tak tau jika dihadapannya anaknya.

Andrean kembali tersenyum sembari menatap istrinya begitu dalam. "Saya udah mencarinya tapi nihil orang suruhan saya tidak dapat informasi sampai sekarang. Saya masih menunggu keajaiban saja."

"Bun!"  Teriak seseorang dari dalam kamar membuat Salsa—ibu sambung Acha merasa tidak enak.

"Aduh, maafnya anak saya suka teriak seperti itu."

Mereka mengangguk paham. Dulu pun mereka seperti itu berteriak tidak tau tempat tapi sekarang tidak. "Sini sayang jangan teriak malu ada tamu."

Tak lama gadis berusia tujuh tahun datang dengan tangan di letakkan di telinganya sendiri sembari tercengir tidak jelas.

"Maaf!"

Bundanya mengeleng melihat tingkah absurd sang anak.

Acha dan juga Febrian terpaku, wajah itu mengingatkan mereka pada Acha ketika kecil. Wajahnya sama persis hanya anak ini terdapat tahi lalat di keningnya sedangkan Acha tidak memilikinya.

"Gila mirip banget sama Acha kecil. Gue jadi kangen jadinya."

"Mirip banget sama gue," batin Acha sembari menggelengkan kepalanya tidak percaya. Gadis itu seperti bercermin sekarang, gadis kecil sangat mirip dengannya.

"Ini, anak saya yang pertama namanya Achelin. Di panggil Achel atau Ache namanya hampir mirip dengan anak saya yang pertama bahkan mukanya pun mirip."  Laki-laki parubaya itu mengakhiri  ucapannya dengan tertawa singkat.

"Dia obat rindu saya ketika saya rindu dengan anak pertama saya. Mungkin Tuhan memberikan dia untuk saya untuk mengobati rasa bersalah saya," tambahnya dengan tegas dan juga penuh dengan kasih sayang. Matanya mulai berkaca-kaca kala mengucapkan kata itu.

"Halo kak," sapa Ache pada semua orang yang ada di sini. Acha tersenyum tipis setelah mendengar sapaan dari adik tirinya.

"Halo," sapa yang lain padanya.

"Hey kak, namanya siapa?" tanya Ache setelah duduk di sebelah Acha yang kosong. Acha tersenyum tipis lagi, sebenarnya dia ingin sekali memeluk adiknya ini.

"Acha."

"Wah, nama kita sama," ucapnya, gadis kecil itu menepuk-nepukkan tangannya. Seantusias itu kah dia mendengar namanya sama dengannya?

"B-boleh, peluk?" tanya Ache dengan terbata-bata. Acha mengangguk sembari merentangkan tangannya sigap memeluk Ache dan memeluknya dengan erat.

"Saya baru liat Ache akrab dengan orang asing," ucap Andrean sembari tersenyum.

Hati kecil Acha seperti di tusuk belati tajam. Orang asing? tentu saja. Dia sudah menjadi orang asing sekarang bahkan sang Ayah pun tak mengingat raut wajahnya sama sekali.  Acha tersenyum miris. Ikatan darah emang kuat.

"Yaudah, Om saya sama teman-teman pamit nanti kalau ada kesempatan kita datang lagi kesini," pamit Febrian setelah melihat kode dari Acha.

Andrean mengangguk. "Iya, saya tunggu kalian datang lain ke sini. Anak saya pasti senang bertemu dengan kalian."

"Boleh peluk, Om," ucap Siska, ia sudah menyiapkan rencana ini dari tadi sendirian tanpa ada orang yang tau.

Andrean mengangguk lalu terkekeh. "Dengan senang hati."

"Biar Acha aja yang pertama, ya, Om."

Andrean mengangguk sedangkan Acha menggelengkan kepalanya pertanda tidak mau. Siska membisikkan suatu di telinga sahabatnya.  "Ayolah, Cha, ini kesempatan buat lo. Kapan lagi."

Acha hanya bisa mengangguk dengan pasrah. Ucapan dari Siska ada benarnya juga kapan lagi dia akan bisa memeluk Ayah-nya lagi.  Gadis itu melangkahkan kakinya dan memeluk laki-laki parubaya itu dengan erat. "Ini Acha, Yah. Anak Ayah, " gumam Acha pelan tapi masih bisa di dengar oleh Andrean.

"Ayah sayang kamu sangat sayang kamu, Cha. Anak Ayah sudah besar, ya," bisik Andrean membuat Acha terpaku. Ayahnya sudah mengetahui jika anaknya itu dia? Tapi bagaimana? Jelas-jelas tadi dia tak mengetahui rupa anaknya.

Andrean memegang bahu anaknya kuat. "Ayah tau itu kamu, Nak. Makasih udah datang Ayah kangen sama kamu, sayang."

"Bagaimana Ayah tau ini Acha?" tanya Acha membuat Andrean tersenyum. "Orang tua mana yang tak tau itu anaknya? ikatan darah memang tak bisa di bohongi sayang. Maafkan Ayah sayang."

Acha mengangguk,  memeluk tubuh Ayahnya lagi. Menyalurkan merinduan yang dia simpan bertahun-tahun di dalam hatinya.

"Acha sayang Ayah," bisik Acha. Andrean tersenyum membalasnya dengan usapan halus di punggungnya. "Ayah juga sayang sama Acha selalu dan selamanya."

Acha mengangguk membenarkan. Semuanya tampak haru melihat mereka berdua. Gadis itu menitihkan air matanya lagi kali ini air matanya di hapus oleh seseorang yang berarti dalam hidupnya yaitu sang Ayah.

"Jangan nangis anak Ayah engga boleh cengeng malu sama adik kamu," sindir Andrean sembari mengelus pucuk rambut anaknya.

"Makasih udah maafin kesalahan ayah dulu."

Acha mengeleng. "Harusnya Acha yang minta maaf sama Ayah. Maaf pernah membenci tanpa sebab, maafin Achanya. Belum bisa berbakti sama kalian dan maaf baru datang."

Andrean menggelengkan kepalanya sembari tersenyum manis. "Engga apa-apa. Kamu sehatkan?"  Laki-laki parubaya itu membawa Acha ke taman jauh dari semua orang.

"Alhamdulillah baik. Kalau Ayah gimana?"

Andrean tersenyum lega. Ia terus bersyukur karena anaknya selalu sehat kalaupun jauh darinya.

"Apa Ayah bahagia dengan keluarga Ayah yang baru?" tanya Acha ragu-ragu. Dia memang sudah tau jawabannya tapi gadis itu ingin mendengar langsung dari mulut Ayahnya.

Andrean mengangguk. "Ayah bahagia, Nak. Bisa bersama dengan orang yang Ayah cintai di dunia ini."

"Acha juga bahagia liat Ayah bahagia tanpa Mamah," ucap Acha membuat senyum Andrean kembali memudar.

"Apa kalian bahagia?"

Acha mengangguk. "Jauh dari kata tidak bahagia Ayah sebenarnya Acha tidak sebahagian yang kalian kira tapi kebahagiaan Ayah nomer satu buat Acha sangat bahagia ayah apalagi bisa berjumpa dengan Ayah."

"Kamu sudah membaca surat itu?"

Acha mengangguk. "Apa kamu butuh penjelasan lagi?" tanya Andrean siapa tau anak gadisnya belum jelas apa yang dia maksud dalam tulisan itu.

Acha menggeleng. "Tidak perlu Acha sudah mengerti semuanya. Dan untuk Bi apa di—"  Ucapan Acha terpotong begitu saja.

"Dia masih hidup dan ada di sekitarmu sayang bersama denganmu bahkan kalian bisa mengobrol kayaknya dulu."  Kening Acha mengerut jadi selama ini seseorang yang dia harap-harapkan masih hidup ada di sini.

"Dia ada di sini."

Ucapan sang Ayah membuatnya menjadi bingung, siapa yang dibicarakan?

"Siapa dia?"

Acha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang