"Gar, selamat, ya! Aku tau kamu pasti bakalan juara kelas lagi makanya aku bikinin kue khusus buat kamu," ucap Devi tersenyum lebar lalu menyodorkan bungkusan yang berisi kue itu.
Mereka sedang berada di kelas Digar yang sudah sedikit lengang karena para murid langsung pulang. Biasa, pesta setelah pembagian rapot walaupun nilainya merah.
"Dimakan, pokoknya harus dihabisin. Aku bangun jam tiga pagi loh buat bikin ini." Ia memasang tampang melas yang dibuat imut.
Devi berharap penuh Digar menerimanya.
Digar menatap bungkusan itu, dia enggak suka manis, tapi Alby menyukainya alhasil ia memilih untuk menerimanya.
"Makasih," ucapnya lalu mengambilnya.
Devi memekik senang di dalam hati membuat senyumnya semakin mengembang.
Gar, kesabaran aku banyak loh asal bisa dapetin kamu, batinnya.
"Sama-sama. Nanti kasih tau aku gimana rasa kuenya, ya."
Digar mengangguk sebagai formalitas.
"Abis ini kamu mau ke mana?"
"Pulang."
"Kok langsung pulang? hari bagi rapot harusnya jalan-jalan dulu dong."
Digar hanya diam tak merespon, menunggu gadis itu melanjutkan kembali kata-katanya.
"Yaudah, berhubung waktu kamu kosong gimana kalo kita ke kafe? ada satu kafe yang mau aku datengin, tapi belum kesampaian soalnya aku males sendiri. Kamu mau nggak?" Devi berusaha memberikan senyuman termanisnya.
"Mau, ya? please. Nggak jauh, kok! Beberapa menit--"
Dering ponsel Digar memotong ucapan Devi.
Nama kontak Alby tertera di layar handphonenya membuat Digar segera menggeser tombol hijau.
Ia mendekatkan handphonenya ke telinga. Beberapa detik tak ada suara di seberang sana.
"Kenapa, By?" tanyanya sukses membuat Devi melotot.
"GAR, PULANG! GAS ABIS," ucap Alby menggelegar seperti sound system.
Digar reflek menjauhkan benda pipih itu, apakah Alby berniat membuat telingannya disfungsi?
Kembali mendekatkan handphonenya, "iya, gue pulang sekarang."
"Ok, tapi gue bilang cepet bukan berarti lo kudu ngebut di jalan nyaingin Messi, ya!"
Digar tersenyum tipis, "iya."
"Jan iya-iya aja, tapi nggak dikerjain."
"Iya, gue kerjain."
"Yaudah, gue matiin."
Devi mengepalkan tangannya, walaupun ia tetap menampilkan wajah manis namun, hatinya menggerutu. Di ruangan yang sudah kosong ini tentu saja suara seseorang dari telepon itu terdengar.
Tu orang siapa, sih? kok Digar kayaknya nurut banget sama dia? Gue yang selama ini berusaha keras bikin dia tunduk malah belum berhasil.
"Jadi, gimana? lo mau, nggak?" Devi bertanya ulang.
"Nggak."
Ia memasang ekspresi sedih, "yaudah, lain kali aja. Hati-hati di jalan. Kuenya diabisin, ya!"
Digar hanya mengangguk lalu beranjak meninggalkan Devi.
Saat cowok itu sudah keluar, Devi menendang kaki meja yang ada di dekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Resilience; AlGar
RandomSeseorang yang disebut 'anak haram' pun berhak bahagia, tapi nyatanya Alby tak pernah merasakannya. Rasa sakit sudah menjadi bagian dari dirinya sejak kecil namun, yang paling menyakitkan adalah saat ia dijual oleh ibu kandungnya sendiri.