Seperti yang sudah Digar yakini, ia tak bisa tidur, ditambah suara aneh seperti tapir kejepit yang berasal dari orang di sebelahnya membuat Digar mustahil untuk tidur. Apalagi anak itu tidur seperti orang kerusuhan, padahal nyawanya sedang traveling.
Di bawah cahaya remang lampu tidur, ia berbaring telentang, pandangannya lurus menerawang langit-langit kamar. Digar rasa kantung matanya akan bertambah hitam kalau dia enggak tidur sama sekali malam ini.
Kepalanya menoleh ke samping, menatap nakas yang di dalamnya terdapat obat. Digar pengin minum obatnya lagi tapi karena ia sudah minum 1 pil saat tengah malam tadi dan juga pesan Jeff untuk enggak terlalu sering mengkonsumsi obat, akhirnya Digar memilih untuk mengurungkan niatnya.
Ia kembali menatap langit kamar, "tapi ini beda obat, kan?" gumamnya mencari pembenaran.
Digar mendesah frustasi, kemudian memejamkan matanya, berusaha tidur dengan sendirinya. Di tengah usahanya untuk tidur, sebuah tangan mendarat mulus di wajahnya, membuat ia sedikit mengaduh tertahan.
Digar mengalihkan tangan Alby dengan kasar, alisnya mengerut menatap wajah damai Alby yang masih tertidur lelap. Bagus banget kayak orang enggak ada dosa.
Alby menggaruk pipinya dengan mata yang masih terpejam, "Mmmh...ngok.." gumamnya. Ia kemudian kembali melayangkan tangannya ke samping, tepatnya ke wajah Digar. Namun, Digar dengan sigap menangkap tangannya.
Hendak mengalihkan tangan Alby namun, matanya menangkap banyak goresan di pergelangan tangan anak ini.
Digar meletakkan tangan Alby dengan pelan di samping badannya. Pantas saja anak itu tadi menggulung celananya tapi membiarkan lengan piyama menutupi semua jari kecillnya, sepertinya anak ini sudah menjalani kehidupan yang sulit.
Digar kembali memejamkan matanya, ia menepis rasa kesalnya dan memilih untuk mendengarkan dengkuran abstrak Alby yang tiba-tiba terdengar menenangkan. Lambat laun, akhirnya ia pun tertidur di saat jam sudah menunjukkan pukul 3:26 AM.
2 jam kemudian, alarm berbunyi nyaring, membangunkan Digar yang rasanya baru saja memasuki dunia mimpi tapi sudah ditarik kembali ke dunia nyata.
Digar mengusap kasar wajahnya, kemudian mendudukkan diri. Ia menatap ke samping, namun tak menemukan siapa pun.
Digar mengernyit,"ke kamar mandi?" Ia pun memutuskan untuk beranjak ke kamar mandi, namun Alby tak ada di sana.
"Kabur?" Digar memutuskan untuk mandi daripada memikirkan kemana perginya anak yang baru saja ia temui malam tadi.
Selesai dengan ritual paginya, Digar kembali ke kamar dengan ranjang yang masih kosong.
"Beneran kabur?" Walau Digar sedikit enggak peduli, tapi ngeri juga kalau diomelin Jeff perkara enggak ngejaga anak keduanya.
Digar beralih ke sisi kanan ranjang, ia mengerjap saat menemukan anak itu tidur di lantai dengan kaki terbuka lebar, tangan kanan di atas kepala dan tangan kirinya berada di perut yang terekspos akibat piyamanya tersingkap.
"Ada orang jatuh dari ranjang tapi gak kebangun?" Digar yang susah tidur namun mudah terbangun iri melihatnya.
Ia berjalan mendekat lalu berjongkok di sisi tubuh Alby, memperhatikan wajah mungilnya. Anak ini masih saja tidur dengan mulut yang sedikit terbuka, meninggalkan jejak aliran sungai di sisi bibirnya. Tapi manik obsidian Digar juga menangkap jejak samar yang mengalir di ujung mata Alby.
Ia berdiri, hendak beranjak membiarkan Alby tetap tidur di lantai. Namun ia mengurungkan langkahnya, "bisa kacau kalau Papa liat dia tidur di lantai." Alhasil Digar merunduk, menyelipkan tangannya di punggung dan bawah lutut Alby, Ia menggangkat tubuh ringkih anak itu, benar-benar terasa ringan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Resilience; AlGar
RandomSeseorang yang disebut 'anak haram' pun berhak bahagia, tapi nyatanya Alby tak pernah merasakannya. Rasa sakit sudah menjadi bagian dari dirinya sejak kecil namun, yang paling menyakitkan adalah saat ia dijual oleh ibu kandungnya sendiri.