"Gar, gue gak bisa ikut. Perut gue rasanya sakit terus kembung gitu." Alby mendatangi Digar yang berada di walk in closet. Terlihat cowok itu sedang bercermin dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya.
Digar seketika terlihat khawatir, "udah minum obat?"
Alby mengangguk lemah, "udah."
"Istirahat aja. Gak usah ikut, ini cuman persiapan."
Hari ini adalah hari persiapan sebelum MPLS yang akan diadakan lusa. Alby sudah diterima sebagai murid kelas 10 di SMA Bintang Raya, tempat Digar bersekolah.
"Nanti gue tanyain ke OSIS apa aja yang lo perluin buat MPLS." Alby hanya mengangguk, tetap memegangi perutnya.
Hari ini Digar disuruh ke sekolah untuk membersihkan kelas makanya mereka berdua mau berangkat sama-sama, tapi ternyata Alby enggak bisa.
"Tapi biasanya ada dibikin grup. Nanti gue kasih nomor lo ke bindam, kelompok tiga, 'kan? biar gak ketinggalan info."
"Iya. Makasii, Digar," ucap Alby tersenyum manis.
Digar mengangguk, "istirahat, kalo ada apa-apa cepat telpon gue." Nada khawatirnya terdengar kentara.
"Mm," gumam Alby mengangguk kecil.
Sorot mata Digar pun terlihat cemas. Tangannya terulur menyentuh dahi serta leher Alby untuk mengecek suhu tubuhnya; terasa agak dingin.
Alby tersenyum, "gue gak pa-pa, kok. Cuman sakit perut dikit aja." Ia berucap halus, mencoba meyakinkan Digar. Lalu jarinya membentuk peace finger dengan senyum tengil.
Digar menghela napas dalam lalu tersenyum tipis. "Gue berangkat." Ia menepuk pundak Alby kemudian segera berlalu.
"Eitt, tunggu dulu!" cegat Alby membuat Digar menghentikan langkahnya.
"Apa?"
Alby memperhatikan setelan pakaian kebangsaan Digar; serba hitam.
"Wait." Anak itu segera beranjak ke lemarinya. Ia terlihat mengambil sesuatu di sana.
"Nih, pakai." Alby menyodorkan jaket denimnya ke arah Digar.
Mata Alby rasanya sepet lama-lama liat Digar serba hitam mulu. Makanya dia mau Digar pakai jaketnya.
"Kenapa?" tanya Digar bingung dengan dahi yang mengerut.
"Ntar lo dikira mau ngelayat, item-item kek gitu. Mana pake kacamata lagi."
Digar menatap jaket blue denim di hadapannya. Warna itu terlalu cerah untuknya.
"Gue gini aja," tolak Digar. Sejak hari itu, selain seragam sekolah, semua pakaiannya berwarna hitam. Dia, memutuskan untuk menghapus semua warna dan membiarkan hitam mewakili hidupnya.
"Enggak, enggak." Alby menggeleng. "Gue mau liat lo pakai jaket ini. Pasti ganteng infinity, Dilan mah lewat." Ia pun tertawa kecil menatap Digar.
"Jaketnya gak muat." Digar membuat alasan membuat Alby merengut.
"Tenang aja, semua baju gue oversize. Jadi, ini pasti pas di badan lo," jelas Alby seraya memasangkan jaketnya dengan paksa.
Alby tersenyum lebar saat jaket itu terlihat sempurna di tubuh Digar. Ia mengusap bagian pundak Digar lalu menepuknya pelan seolah sedang merapikan penampilan cowok ini.
"Sini." Alby menarik Digar ke depan cermin. Ia kemudian berdiri di kursi agar bisa sedikit lebih tinggi daripada Digar.
Alby meletakkan kedua tangannya di pundak sang kakak. Ia menatap cermin. "Digar-ku 1998," ucapnya lalu tersenyum manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Resilience; AlGar
RandomSeseorang yang disebut 'anak haram' pun berhak bahagia, tapi nyatanya Alby tak pernah merasakannya. Rasa sakit sudah menjadi bagian dari dirinya sejak kecil namun, yang paling menyakitkan adalah saat ia dijual oleh ibu kandungnya sendiri.