"Digar, walaupun wajah kamu penuh darah, tapi masih tetap tampan." Devi tersenyum simpul menatap Digar di ujung sana.
Cowok itu masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Mengapa Devi bisa ada di sini?
"Kalian apain dia?" Iris coklat milik Devi mengarah pada Alby yang tersungkur di lantai.
Orang-orang berbaju hitam itu hanya diam menunduk, tak berani menjawab sedikit pun.
"Udah diwanti-wanti, kan? Jangan sampai ada luka di badannya. Dia aset berharga," desis Devi menatap tajam bawahannya.
"Iya, Nona," patuh mereka.
Manik hazel itu menatap resah ke sembarang arah. Apa maksudnya aset berharga?
"Ayo, berdiri." Devi menarik tangan Alby untuk membantunya menegakkan tubuh.
"Maksudnya apa?" tanya Alby saat berhasil berdiri seraya memegangi perutnya yang terasa nyeri.
"Kamu bakal tau nanti," jawab Devi memasang tampang ramah.
Lalu berubah tegas lagi saat memberi instruksi. "Lanjutkan kerjaan kalian. Kan udah dibilangin, jangan berhenti sampai ada perintah," titahnya mutlak.
Dua orang yang memiliki balok di tangannya segera kembali mendekati Digar.
Mata Alby membola panik. "Lo ada masalah hidup apa si? Kenapa lo merintahin mereka buat mukulin Digar? Emangnya dia salah apa?!" Nadanya meninggi di akhir karena emosi.
"He shouldn't be treated badly like this!"
"Kamu tau?" Devi melangkah maju. Ia mencengkeram kuat rahang Alby. "Dia ada di sana ngegantiin kamu," ucapnya penuh penekanan lalu tersenyum lebar.
Alby hanya bisa meringis merasakan kuku panjang Devi menancap di kulitnya.
"Aku selalu nyingkirin seseorang yang ngehalangin jalan aku."
Mendapati sorot mata kebingungan Alby, cewek itu berinisiatif menjelaskan. "Aku becanda."
"Dia ada di sana karena perbuatannya sendiri," jelasnya kemudian.
Alby mengernyit tak habis pikir. "Jadi, lo ngelakuin ini semua cuman karena Digar selalu nolak lo?!"
Devi tertawa geli seraya menarik tangannya, "come on dude. Buat apa bayar mahal cuman gara-gara hal nggak guna."
Bug!
Atensi keduanya beralih pada Digar yang kembali mendapat pukulan di punggungnya.
"Digar ...." Suara ketidakberdayaan memanggil lemah.
Saat giliran orang yang berdiri di depan mengayunkan balok, Digar menangkapnya dengan satu tangan yang terbebas.
Tangannya bergetar menahan dengan sekuat tenaga yang tersisa. Irisnya menatap tajam pada laki-laki yang berusaha melepaskan baloknya.
Melihat partnernya kesulitan, yang di belakang menghantamkan baloknya dengan kuat ke lengan Digar hingga menimbulkan suara retak yang samar.
Digar mengerang rendah, giginya mengatup kuat dengan wajah yang meringis menahan sakit yang teramat sangat pada lengannya.
Alby menutup mulutnya dengan mata yang terbelalak. Cairan bening menggenang di pelupuk matanya. Ia yakin, barusan adalah suara tulang Digar yang retak.
"Please, stop it now ...," pintanya lirih sembari terisak dengan suara yang bergetar. "Don't hurt him more than this. Stop beating him."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Resilience; AlGar
RandomSeseorang yang disebut 'anak haram' pun berhak bahagia, tapi nyatanya Alby tak pernah merasakannya. Rasa sakit sudah menjadi bagian dari dirinya sejak kecil namun, yang paling menyakitkan adalah saat ia dijual oleh ibu kandungnya sendiri.