Cowok itu mengembuskan asap rokoknya dengan pandangan redup. Kedua sikunya bertumpu pada pembatas balkon, ia mendongak, menatap langit malam yang kelam, just like him.
Embusan angin malam yang dingin menerbangkan helaian rambutnya. Ia memejamkan matanya, menikmati udara dingin yang menusuk tulang.
Pikirannya agak kacau akibat ulah Deon yang memprovokasinya siang tadi. Digar paling tak bisa jika disinggung soal Anyelir, maka dari itu ia langsung berdiri saat Deon juga ingin membahas Jeff.
Di saat seperti ini, ia biasanya sudah menghilangkan kesadarannya dengan menenggak whisky ataupun vodka. Tapi untuk sekarang, ia tak mungkin melakukannya.
Sebenarnya Digar hanya merokok saat pikirannya kacau, tapi masalahnya, itu terjadi hampir setiap hari.
Ia menyugar rambutnya frustasi.
Sekalipun bisa lari, seorang yang bersalah tidak akan pernah hidup dengan tenang.
Suara datar nan dingin itu dilontarkan dengan tatapan tajam penuh kebencian, pemilik suara sedang mengutuk.
Digar membenarkan ucapan itu, hidupnya tak pernah tenang selama ini.
Ia menatap benda kecil yang ada di celah jemarinya, bara api perlahan naik membakar rokok, menghasilkan asap yang mengudara di sekitarnya.
"Digar!" Suara cempreng itu memanggilnya membuat ia mengurungkan niat untuk mencerup kembali rokoknya.
"Di sini."
Suara langkah kaki mendekatinya.
"Ikut gue ke dapur bentar."
Digar langsung saja beranjak menghampiri Alby. Namun, anak itu seketika menutup hidungnya dengan alis yang bertaut.
"Rokok lo matiin dulu! uhukk!"
Mendengar hal itu, Digar segera mematikan rokoknya dan meminta maaf.
"Gak masalah, sekarang cepetan ikutin gue." Ia berjalan santai di sisi Alby yang mengambil langkah lebar dengan kaki pendeknya.
Saat mereka sampai di dapur, ternyata Alby menyuruhnya untuk mencicipi sup sayur yang sudah ia buat.
"Nih rasain." Alby berjinjit saat ingin menyuapi sup itu ke Digar. Sontak membuat cowok jangkung itu membungkukkan badannya.
"Gimana rasanya?" Mata anak itu membulat lucu. Ia harap-harap cemas, takut jika Digar tak menyukai masakannya.
"Rasa sop."
Alby berdecak, tatapannya menjadi datar. "Belom aja ni sendok melayang," kesalnya sambil mengangkat sendok yang tadi ia gunakan untuk menyuapi Digar.
Digar reflek tertawa kecil selama beberapa detik, lalu kembali memasang wajah datar. Alby yang kesal terlihat lucu di matanya.
"Rasanya enak," pujinya lalu tersenyum sangat tipis.
Senyum Alby merekah hingga matanya menyipit. Cacat di pipi kirinya semakin menambah kadar kemanisannya.
"Gitu kek dari tadi, keburu asam lambung gue naik," oceh Alby lalu mematikan kompor.
Ia mendongak menatap Digar yang masih berdiri di sebelahnya. "Lo suka dada apa paha?"
Digar mengerjap, matanya turun menelusuri tubuh Alby dan berhenti di pahanya yang terekspos.
Alby mendelik, ia berjinjit untuk menggeplak kepala Digar menggunakan sendok.
"Mata lo ke mana, jingan?" Maniknya menatap tajam Digar yang mengusap jidatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Resilience; AlGar
RandomSeseorang yang disebut 'anak haram' pun berhak bahagia, tapi nyatanya Alby tak pernah merasakannya. Rasa sakit sudah menjadi bagian dari dirinya sejak kecil namun, yang paling menyakitkan adalah saat ia dijual oleh ibu kandungnya sendiri.