34- In The End

36.9K 2.8K 1.4K
                                    

"Alby ikhlas kok, Ma. Lebih baik gini daripada dia kesiksa sama rasa sakitnya," sahutnya.

"Kalau sudah ikhlas, jangan terlalu ditangisin." Tya kembali menarik tangannya.

Alby hanya mengangguk lemah. Kemudian seorang perawat masuk membawa makan siang dan obat.

Setelah mengucapkan terima kasih pada perawat yang berlalu, Alby mengambil alih nampan dari atas meja.

"Nanti aja makannya," ujar Tya.

"Perawatnya ngasih sekarang tuh, karena emang udah jam makan siang. Jangan ditunda-tunda," oceh sang anak mengingatkan.

"Nggak selera," cicit Tya menatap makanan khas rumah sakit.

Alby menahan senyumnya, Tya seperti anak kecil. "Emangnya siapa yang bakal selera?"

Tya menggeleng kecil, "gak tau."

Tawa kecil Alby lolos, ia baru pertama kali melihat sisi Tya yang seperti ini.

"Nah, makan kalo gitu." Alby menyodorkan sendok ke arah sang mama.

Wanita itu menatapnya lalu berdehem, "saya bisa sendiri."

"Tangan kanan Mama kalo gerak pasti lukanya sakit. Biar Alby aja yang nyuapin," ujarnya mengingat luka tembak Tya berada di punggung kanan.

Benar saja, Tya merasa sakit saat tangan kanannya bergerak. Mau tak mau ia membuka mulutnya.

Dengan telaten Alby menyuapi Tya hingga makananya habis.

"Kamu udah makan?" tanya Tya setelah selasai meminum obatnya.

"Udah ... pagi tadi." Ia menyengir kecil.

"Ini sudah jam berapa? Harusnya kamu perhatikan makanmu. Jangan sampai kambuh," omel Tya.

Alby mengerjap, Tya tau tentang penyakitnya dan dia peduli. Rasa hangat menjalar di hatinya.

"Iya, abis ini cari makan ama Bang Lentar."

Mata Tya menyorot sendu, "maaf, kamu sakit gara-gara saya nggak ngasih makan kamu dengan baik," sesalnya.

Anaknya ini hanya makan sekali sehari ditambah harus bekerja sampai subuh. Dia kurang makan dan istirahat.

"Jangan minta maaf, Mama nggak salah. Emang udah ketentuan-Nya, kok," tampik Alby sangat tak setuju.

Tya menggeleng pelan, kepalanya menunduk dalam dengan raut penyesalan tercetak jelas.

"Saya tahu kata maaf aja nggak cukup, tapi saya nggak tahu harus seperti apa lagi." Suaranya sedikit bergetar di akhir.

"Maaf selama ini saya nggak pernah baik sama kamu, selalu nyakitin kamu."

"Mama pasti punya alasan." Alby menyinggungkan senyum teduh menatap Tya.

"Apa pun alasannya, tindakan saya nggak bisa dibenarkan."

"I know you were hurt a lot too," ucap Alby rendah.

Mengandung di usia remaja karena kecelakaan dan tanpa pasangan, diusir keluarga, serta dicaci masyarakat. Alby tak bisa membayangkan bagaimana mental Tya saat itu. Dan betapa kuatnya ia bisa bertahan hingga sekarang.

Tya mencengkeram erat selimut di pahanya. "Kenapa kamu bersikap begini? Saya merasa sangat buruk. Setidaknya bencilah saya sedikit," ujarnya frustrasi.

Selama ini ia selalu jahat pada Alby, tapi anak ini tak tak pernah menunjukkan kebencian. Sebaliknya, ia selalu peduli pada Tya.

"Buat ngelahirin Alby, Mama udah pertaruhin nyawa." Mata Alby berkaca-kaca menatap sang Mama.

[✓] Resilience; AlGar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang