"I can fly the sky~ woah! Never gonna stay~ woah!"
Alby menyanyi dengan semangat, menjadikan spatula sebagai mikrofonnya sedangkan satu tangan yang lain mengangkat di udara; menunjuk langit-langit seakan sedang konser. Telor ceplok di wajan adalah penontonnya.
"Semangat banget romannya," interupsi Jeff saat masuk ke dapur bersama dengan Digar yang berjalan di sampingnya.
Mereka sudah siap dengan seragam masing-masing.
"Woiya dong, Pa. Hari pertama sekolah harus semangat 45!" sahut Alby seraya mematikan kompor karena tiga telur mata sapi sudah selesai ia buat.
Semalam Alby sudah kecewa karena sakit lambungnya yang kambuh membuatnya tak bisa ikut MPLS; Jeff melarangnya dan menyuruhnya istirahat sepanjang waktu.
Maka dari itu, Alby sangat bersemangat hari ini, rasanya sudah lama ia tak merasakan duduk di bangku sekolah. Walaupun ia sedikit cemas, tapi antuasiasmenya lebih mendominasi.
"Tapi papa kurang semangat, nih." Jeff seketika berakting lemas. "Dayanya tinggal 10%, harus dicas."
Alby tertawa menatap tingkah Jeff yang seperti anak kecil. Ia pun menghadap Jeff sepenuhnya lalu merentangkan tangannya. "Sini, biar jadi 98%."
Jeff tersenyum kemudian menghambur ke dalam pelukan anak keduanya ini.
"Kenapa nggak 100%?" tanyanya.
"Karena yang 100% itu sayangnya Alby ke Papa," jawab Alby membuat Jeff gemas sendiri. Begitupun Digar yang menjadi penonton.
"Manisnya anakku~" puji Jeff seraya mencubit gemas pipi Alby.
Jeff menarik tangannya, ia beralih menatap Digar.
"Itu Digar gak dipeluk? coba liat mukanya suram banget."
Anak dan Bapak itu saling tatap, jika ini kartun, pasti sudah ada sinar merah yang memancar dari manik keduanya.
"He got it all night," ucap Alby santai.
"Uhuk!" Jeff sampai tersedak ludahnya sendiri. Sedangkan Digar mengulas senyum miring.
"Maaf, ya, Nak. Kamu harus sekamar sama dia. Pasti sumpek gegara serba item kayak ruangan dukun," cibir Jeff sambil sesekali melirik Digar.
"Kalau besok muntah beling jangan protes," balas Digar datar.
"Kalau besok jadi ikan pari jangan salahin siapa-siapa."
"Kalau mau telat, terusin aja adu mulutnya ampe besok," interupsi Alby setengah mengomel.
Sontak keduanya diam dengan pandangan saling menyalahkan.
"Oke! mari sarapan dengan makanan adat kita, yaitu telor ceplok!" seru Alby seraya mengangkat piringnya di depan dada.
Jeff hanya tersenyum simpul. Walaupun makanan mereka sederhana, tapi rasanya lebih enak daripada hotel bintang tujuh mana pun.
Semenjak Alby hadir, hal yang selalu mereka lewatkan, kini menjadi rutinitas pagi di keluarga kecil ini.
Setelah selesai sarapan, kini mereka berjalan ke pintu depan.
Sambil berjalan, Alby mengenakan jaket denim yang waktu itu ia pinjamkan pada Digar.
"Sini, makasii," ucapnya seraya mengambil tasnya dari bahu Digar. Ia tadi meminta kakaknya ini membawanya selagi ia memasang jaket.
"Sesuai kesepakatan tadi, hari pertama sekolah papa yang anterin," ucap Jeff pada Alby saat mereka sudah berada di luar.
"Okay, Kapten!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Resilience; AlGar
RandomSeseorang yang disebut 'anak haram' pun berhak bahagia, tapi nyatanya Alby tak pernah merasakannya. Rasa sakit sudah menjadi bagian dari dirinya sejak kecil namun, yang paling menyakitkan adalah saat ia dijual oleh ibu kandungnya sendiri.