Kamar yang di dominasi warna hitam ini terlihat elegan sekaligus suram di saat yang bersamaan, sejalan dengan sang pemilik kamar yang masih memejamkan mata di bawah remang cahaya lampu tidur.
Alarm berdering nyaring, tangan laki-laki itu dengan sigap meraba permukaan nakas untuk mematikan bunyi yang sangat menganggu.
Digar masih menutup matanya, kepalanya terasa pusing karena hanya tidur selama 1 jam lebih. Ia menekan pelipisnya menggunakan telapak tangan selama beberapa saat, lalu mendudukkan diri dengan mata yang setengah terbuka. Terlihat jelas kantung matanya semakin menghitam menambah aura suram remaja berumur 18 tahun ini.
Digar menurunkan kakinya dari ranjang, menatap sekilas jam digital yang menunjukkan pukul 05.30 WIB, lalu mengenakan sandal khusus di rumah, dengan langkah gontai, Digar beranjak menuju kamar mandi yang ada di kamarnya. Hanya butuh waktu beberapa menit, ia sudah keluar dari sana dengan handuk yang melingkar di pinggangnya, mengekspos tubuh ideal bagian atasnya.
Digar berjalan menuju walk in closet, lalu segera mengenakan seragam putih abu-abu. Setelahnya ia beranjak ke depan cermin, sebelum menatap pantulan dirinya, Digar terlebih dulu mengambil kacamata hitam di rak khusus kacamata, kemudian mengenakannya.
Menatap pantulan dirinya di cermin, Digar menyurai rambut hitam legamnya, ia merapikan poni yang menutupi dahinya. Setelah dirasa cukup, Digar mengambil jam tangannya lalu beranjak menuju meja belajar, mengambil tas ransel hitamnya dan menyampirkannya di bahu sebelah kanan. Ia kemudian melangkah keluar kamar.
Digar berjalan santai menyusuri rumah besar ini sembari memasang jam pada pergelangan tangan kirinya. Rumah ini terasa sangat hampa karena hanya ia dan Jeff yang menempatinya, tanpa ada maid.
Setelah menuruni tangga, Digar segera menuju pintu utama, tanpa ada sarapan terlebih dahulu di ruang makan. Mereka jarang makan di rumah karena enggak ada yang masak.
Digar memasuki garasi, kemudian mengeluarkan motor CBR250RR berwarna hitam.
"Oi, gak liat apa ada orang di sini? disapa kek gitu, atau kasi duit," Interupsi Jeff yang berdiri di pojok depan garasi.
Digar sedikit kaget karena tiba-tiba mendengar suara yang ia kira berasal dari makhluk astral.
"Papa ngapain di situ?" tanya Digar dengan ekspresi datar. Ia lalu menaiki motor dan menyalakannya.
"Ku sedang cosplay jadi lampu, biar bisa menerangi hidupmu yang serba hitam," jawab Jeff ngawur karena sebenarnya ia hanya ingin berdiri di situ, menunggu Digar yang tadi ia lihat keluar kamar.
"Iyain aja, besok tahlilan juga gak ada yang tau," balas Digar seraya melepas kacamatanya lalu memakai helm full face yang juga berwarna hitam.
Jeff mendengkus lalu berjalan menuju mobilnya, "Huhh sabar, pahmud ganteng emang banyak cobaannya."
"dan Papa, cobaan Digar yang paling besar," Jeff hanya tersenyum sabar seraya mengusap dada bidangnya.
"Mending kamu berangkat sekarang sebelum jadi gagang sapu, cepet!" Suruh Jeff dengan mata yang melotot.
Digar sedikit menarik ujung bibirnya lalu menutup kaca helmnya. "Digar berangkat, Pa," Pamitnya.
"Iya. Inget, kalo guru nyuruh nyatat itu dicatat, bukan difoto, kalo guru jelasin itu dengerin, jangan ikutan khutbah di belakang. Kalo gurunya lagi keluar bentar, nah boleh aja nyuri kesempatan buat ke kantin kalo mau," Pesan Jeff lalu menyengir kuda.
Digar hanya mengangguk malas sebagai jawaban. Ia kemudian menancap gas menuju halaman utama, membuka gerbang, lalu melajukan motornya keluar dari komplek.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Resilience; AlGar
RandomSeseorang yang disebut 'anak haram' pun berhak bahagia, tapi nyatanya Alby tak pernah merasakannya. Rasa sakit sudah menjadi bagian dari dirinya sejak kecil namun, yang paling menyakitkan adalah saat ia dijual oleh ibu kandungnya sendiri.