"Ni kapan pulangnya si?" Sultan gelisah melirik jam yang terletak di depan kelas.
"Bego, baru jam delapan!" maki Sehan seraya menggeplak kepala Sultan yang duduk di sebelahnya.
"Yeu, kita kan pulang cepet hari ini," ucap Sultan.
Besok ulangan, biasanya mereka akan pulang cepat supaya murid-murid mempunyai banyak waktu belajar di rumah.
"Palingan jam dua belas ntar."
Sultan menyandarkan kepalanya di meja dengan wajah melas. "Padahal ni jamkos, napa nggak dipulangin aja si."
"Ini bukan jamkos ya wahai Sultan Antasari, lo disuruh belajar bukan malah mikirin pulang!" kesal Sehan lalu memukul kepala Sultan menggunakan penggaris.
"Raya pagi tadi nyuruh gue pulang cepet," lirihnya dramatis. "Dia bilang gini, 'Abang cepet pulang, ya. Raya ama Bunda mau bikin kue, nanti Raya buatin khusus buat Abang', gimana gue gak mau cepet pulang coba." Ia menirukan gaya adiknya saat berbicara.
"Anjirlah, coba aja Alexa kayak gitu. Ini malah nyuguhin poopnya, tapi tetep aja gue pengen cepet-cepet pulang."
"Bucin gak ngotak lo!" cibir Sultan sambil menyentil jidat Sehan.
"Ngaca, setan! lo juga!"
Sultan menegakkan punggungnya. "Wajar dong, dia kan adek gue."
"Gue juga wajarlah! dia kan kucing gue!" sewot Sehan.
"Lah, kok ngamok?"
"Elo yang mulai, setan!" Sehan menjambak rambut Sultan membuat keduanya berakhir gelut.
Digar menatap datar dua orang aneh di depannya. Ia yang selalu mendengar percakapan mereka berdua, tiba-tiba ingin menanyakan sesuatu pada Sultan.
"Sultan," panggilnya membuat pertengkaran sejoli itu berhenti.
"Apa?" tanya Sultan seraya berbalik lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.
Sehan juga ikut melakukan hal yang sama, karena jarang-jarang Digar memanggil salah satu dari mereka.
Digar nampak ragu lalu berdehem singkat. "Gimana caranya jadi kakak yang baik?"
Sultan dan Sehan saling lirik, enggak salah nih? bukannya Digar anak tunggal.
"Gue gak salah denger nih?" tanya Sultan memastikan.
"Enggak."
Sehan memicing curiga, ia menatap mata Digar yang tak ada keraguan sedikit pun.
Ia lalu merangkul Sultan berbalik ke depan agar Digar tak dapat mendengar percakapan mereka.
"Dia kan anak tunggal, dan papanya juga nggak ada kabar nikah, terus adek dari mana?" bisiknya di telinga Sultan.
"Lo mikir apa yang gue pikir gak sih?" tanya Sultan.
Mereka saling tatap lalu mengangguk bersamaan. "Devi!" ucap mereka kompak.
Sehan lalu membekap mulut Sultan karena terlalu nyaring, takutnya Digar mendengar mereka.
"Tapi masa sih?" Sehan agak ragu juga sebenarnya.
"Terus siapa lagi? dia kan gak punya adek. Bisa aja kan dia mau minta saran jadi pacar yang baik tapi malu bilangnya," jelas Sultan.
Sehan mengangguk paham, "tapi lo kan jomblo, emangnya tau cara jadi pacar yang baik?"
Sultan tersenyum remeh, "udah sering gue praktekin ke elo," candanya lalu tersenyum jail.
"Bangsat!" maki Sehan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Resilience; AlGar
RandomSeseorang yang disebut 'anak haram' pun berhak bahagia, tapi nyatanya Alby tak pernah merasakannya. Rasa sakit sudah menjadi bagian dari dirinya sejak kecil namun, yang paling menyakitkan adalah saat ia dijual oleh ibu kandungnya sendiri.