Setelah Jeff pergi ke kamarnya tinggalah Alby dan Digar yang masih berdiri di depan kamar.
Alby mendongak, sedikit menyipitkan matanya menatap Digar yang juga menatapnya dengan tatapan datar.
Ni orang apa hantu egrang? tinggi amat kek cita-cita
Digar mengernyit menatap cowok mungil di hadapannya. "Papa mungut di mana coba," batinnya.
"Pa liat-liat?" tanya Alby sinis.
Digar mengalihkan pandangannya ke sekitar, "siapa yang ngomong?" tanya Digar seolah Alby enggak kelihatan karena saking pendeknya jika dibandingkan dengan dirinya.
Alby mendelik kesal, "buta noh kuping lo," cibirnya ramah.
Mendecak di dalam hati, Digar kemudian memilih untuk masuk ke dalam kamar meninggalkan Alby.
"Oi gue dibiarin aja di sini?" tanya Alby saat punggung Digar menjauhinya.
"Terserah," sahut Digar tanpa repot berbalik badan.
Alby mendengkus kesal kemudian menyusul Digar. Ia berdiri diam di tengah kamar, sedikit takjub melihat kamar Digar yang lumayan luas. Ranjangnya bahkan lebih besar daripada kamar Alby dulu.
Alby tersentak saat lampu tiba-tiba dimatikan oleh Digar membuat kamar itu seketika gelap gulita, bahkan sinar bulan pun tak menembus gorden.
"Heh! gelap amat. Gue ga bisa ngeliat!" Protes Alby sedikit panik karena ia tak bisa jika tak ada sedikit pun cahaya, dadanya tiba-tiba terasa sesak.
"Emangnya lo mau liat apa?" tanya Digar enteng seraya menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang.
"Liat Kakbah! make nanya lagi, gue mau mandi ini gak tau di mana kamar mandinya!"
"Lorong di sebelah kanan lo, jalan terus aja ntar juga nyampe ke rahmatullah," Balas Digar membuat darah Alby seketika naik ke ubun-ubun.
"Gue serius ya, ini gelap banget anjir. Nyalain dulu lampunya, gimana caranya gue ke kamar mandi kalo gelap giniiii," Geram Alby.
"Ya lo tinggal jalan aja, apa susahnya?" tanya Digar yang sepertinya memang ingin diamuk massa.
"Lo pikir gue punya byakugan, jan ngadi-ngadi deh lo!" Misuh Alby sudah sangat kesal dengan orang yang baru ia temui ini.
Digar hanya mengangkat bahunya tak acuh kemudian beringsut ke bawah, merebahkan dirinya bersiap untuk tidur walaupun ia tak yakin akan bisa tidur.
"Oi," panggil Alby pada Digar yang sudah mulai melakukan ritual sebelum tidur, ya mengkhayal.
"Oi, lo udah dijemput?" tanya Alby seraya melangkah dengan sangat hati-hati. Tangannya meraba udara berusaha mencari sesuatu yang bisa ia gapai.
Digar mendecih dalam hati, cowok kecil ini sangat menganggu.
"Woilah, Lo kok diem aja?" Alby terus berjalan dengan langkah kecil seperti semut, walaupun sudah hati-hati namun jika takdir mengatakan ia harus tersandung kaki meja maka terjadilah. Alby jatuh dengan tidak elite menimpa lantai marmer hitam yang dingin.
"Sshh!" Ringisnya seraya mengusap tulang kering yang terasa sakit.
Alby terus saja mengusap kakinya, namun kemudian ia berhenti. Alby merasa hari ini penuh dengan rasa sakit. Tanpa aba-aba air matanya menetes, mengalir di pipinya, dirinya tiba-tiba jadi emosional.
Alby meringkuk, ia memeluk kakinya dan menenggelamkan wajah di sela lututnya. Ia menggigit bibir bawahnya yang bergetar, berusaha meredam isakannya. Namun, dadanya terasa tambah sesak membuat Alby memilih untuk menumpahkan unek-uneknya. Persetan dengan makhluk menyebalkan yang bersamanya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Resilience; AlGar
RandomSeseorang yang disebut 'anak haram' pun berhak bahagia, tapi nyatanya Alby tak pernah merasakannya. Rasa sakit sudah menjadi bagian dari dirinya sejak kecil namun, yang paling menyakitkan adalah saat ia dijual oleh ibu kandungnya sendiri.