Seluruh tubuhnya menegang kala orang itu mendongakkan kepalanya, menatap lurus ke arah Alby. Namun sebenarnya Alby pun tak tahu, apakah orang itu menatapnya atau tidak karena pencahayaan yang minim.
Tapi dengan kepercayaan dirinya Alby yakin orang itu menatapnya karena sekarang dia berdiri dengan sempoyongan, berjalan ke arah Alby.
Dari postur tubuhnya sudah pasti dia adalah seorang laki-laki yang membuat Alby semakin merasa ketakutan. Ia takut jika orang yang berjalan ke arahnya ini benar-benar salah satu dari mereka.
Alby memegang erat tali tas selempangnya dengan tangan yang gemetar. Ia merutuki dirinya sendiri karena berdiri di area yang terkena pencahayaan lampu belakang club sehingga membuatnya terlihat jelas.
Laki-laki itu, dengan langkah yang sempoyongan tapi pasti, semakin mendekat ke arah Alby membuat degup jantungnya semakin menggila.
Suara langkah kaki yang terseok-seok di bawah kegelapan malam benar-benar membuat jantung Alby seakan hendak meledak. Namun, saat laki-laki itu terkena pencahayaan lampu membuat Alby seketika mengerjap.
Laki-laki itu memiliki tubuh yang tinggi semampai, rambut yang menutupi alis, dan wajah yang terlihat sempurna. Ia mengenakan pakaian serba hitam dan juga memakai kacamata hitam.
Alby menatap laki-laki itu yang tetap berjalan, di tangannya, ia menggenggam sebotol whisky, sudah bisa dipastikan hal itulah yang menjadi penyebab laki-laki ini berjalan sempoyongan seperti zombie.
Dengan tak acuh, laki-laki itu berjalan melewati Alby membuat remaja ini lagi-lagi merutuki dirinya seraya menepuk jidatnya sendiri.
Astaga tu orang cuman mau masuk lagi ke dalem, geer banget, batin Alby.
Alby menghela napas panjang lalu menghembuskan nya dengan perlahan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia hanya terlalu parno karena akhir-akhir ini mereka semakin sering mendatanginya.
Sebelum melangkahkan kakinya yang masih terasa lemas, Alby lagi-lagi menghela napas lalu memegang erat tali tasnya, ia pun beranjak untuk segera pulang.
Alby mengambil sepeda butut miliknya lalu segera menaikinya. Kaki kecilnya mulai mengayuh pedal dengan kecepatan sedang. Dinginnya angin malam membuat tubuh ringkihnya menggigil.
Alby mengernyit saat rasa perih kembali menusuk-nusuk perutnya. Ia sedikit mendesis lalu menekan perutnya dengan tangan kiri kala rasa sakit itu semakin terasa menusuk. Alby hanya bisa melakukan hal ini kala perutnya terasa sakit karena tak diisi makanan sejak siang, ya, Alby lapar.
Perlu waktu 20 menit untuk Alby sampai ke rumah nya. Setelah sampai, Alby langsung menuju belakang rumah, ia merogoh tas untuk mengambil kunci. Setelah menemukannya Alby segera mengarahkan kunci itu pada lubang kunci.
Alby memutar kunci dengan perasaan was-was. Namun, saat pintu berhasil di buka ia pun menghembuskan napas lega karena malam ini ia masih bisa tidur di rumah.
Setelahnya ia memasuki kamarnya yang hanya berukuran satu depa tangan orang dewasa, tanpa jendela, hanya ada ventilasi kecil di atasnya. Alby segera mengganti pakainnya menjadi kaos lengan panjang yang di ambilnya dari keranjang baju.
Alby juga mengambil selimut dari keranjang itu lalu membentangkannya di lantai. Ia menaruh bantal yang kapuknya sudah hancur sebagian di atas selimut dan segera merebahkan dirinya pada lantai semen yang tentu saja terasa keras dan dingin.
Alby meringkuk, memeluk dirinya sendiri, memejamkan matanya, mengabaikan rasa sakit yang menusuk di perutnya. Dirinya sudah terbiasa tidur dalam keadaan perut kosong.
Hanya selang beberapa jam, mentari mulai menampakkan cahayanya di ufuk timur. Alby pun sudah kembali membuka matanya, ia hanya tidur beberapa jam untuk sekadar memulihkan kembali sedikit tenaganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Resilience; AlGar
RandomSeseorang yang disebut 'anak haram' pun berhak bahagia, tapi nyatanya Alby tak pernah merasakannya. Rasa sakit sudah menjadi bagian dari dirinya sejak kecil namun, yang paling menyakitkan adalah saat ia dijual oleh ibu kandungnya sendiri.