Jeff mendudukkan dirinya di tepi ranjang, tepatnya di sisi Alby yang tengah tertidur pulas. Ia menempelkan punggung tangannya pada dahi si bungsu.
Jeff baru saja pulang bekerja dan ia langsung pergi ke kamar Digar. Ia mendapat pesan dari Digar bahwa Alby sedang tak enak badan, sontak ia pun buru-buru menyelesaikan pekerjaannya dan segera pulang untuk memeriksa kondisi anak keduanya ini.
"Nggak panas, kok." Jeff menatap Digar yang duduk bersandar pada kepala ranjang.
"Yang bilang panas, siapa? kan tadi udah dibilangin suhu badannya normal."
"Ya kali aja berubah, kamu kan tadi bilangnya udah beberapa jam yang lalu," dalih Jeff membuat Digar memasang tampang malas.
"Dari tadi Digar cek terus, nggak pernah berubah."
Jeff mengerling jenaka, "ciee yang ngecek mulu," godanya seraya menaikturunkan kedua alisnya.
"Dih apaan, itu namanya sikap kemanusiaan," kilah Digar seraya membuang pandangan ke sembarang arah sambil merapikan rambutnya yang tak berantakan.
Jeff mengulum senyum melihat anaknya yang salah tingkah. "Ooh sikap kemanusiaan, yaa," ucap Jeff penuh penekanan sambil manggut-manggut.
Digar berdehem, kemudian beranjak dari duduknya. Ia tiba-tiba merasa gerah di tengah malam ini.
"Mau ke mana?"
"Cari angin," jawab Digar yang berjalan menuju balkon.
Jeff tersenyum simpul lalu ikut menyusul Digar.
Jeff mengambil tempat di sebelah Digar lalu mengambil sekotak rokok dan pemantik dari saku celananya. "Kalian berdua cocok aja, kan? sama saudara tuh yang akur, jangan kayak ikan cupang, bayangan sendiri aja diajak gelut," ucapnya sambil menyalakan rokok.
"Iya." Digar mengambil satu batang rokok milik Jeff lalu menempelkannya pada bara rokok papanya hingga rokok miliknya ikut menyala.
Mereka berdua sama-sama mengembuskan asap ke udara. "Mama kamu lagi ngeliatin kita nggak, ya?"
Keduanya kompak menatap langit, seakan orang yang dimaksud benar-benar sedang berada di sana.
"Kalo iya, pasti dia pengen benget gebukin papa gegara ngebiarin kamu kayak gini," ujar Jeff yang diakhiri tawa sumbang.
Digar menarik salah satu sudut bibirnya. Ia terbayang wajah sang Mama ketika mengomeli Jeff yang seringkali mengajari anaknya hal yang aneh-aneh.
Ia kembali mencerup rokok yang berada di sela jemarinya. "Sini Digar wakilin," sahutnya membuat Jeff menyentil jidatnya.
"Gada yang bisa wakilin mama kamu." Jeff kembali beralih menatap langit lalu tersenyum lembut.
Di kehidupan selanjutnya, pas kita ketemu lagi setelah sekian lama, hal pertama yang bakalan kamu lakuin pasti marah-marah. Maaf, aku belum bisa jadi papa yang baik buat Digar. Tenang di sana, Anyelir Wang Oceana.
Digar kembali berdehem untuk mencairkan suasana. Kepalanya seketika terasa pening karena kejadian itu juga ikut terbayang.
"By the way, Papa mungut dia di mana?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
Jeff mendelik ke arah Digar yang memasang wajah tanpa dosa.
"Apaan mungut, emangnya barang?" protesnya.
"Terus ketemu di mana? kenapa dibawa pulang?" tanya Digar beruntun. 1×24 jam sudah Digar mengenal Alby, namun yang ia tahu dari anak itu hanyalah nama dan betapa cerewetnya dia.
Jeff menghela napas panjang, ia menatap Digar yang menunggu jawabannya. "di pelelangan club, papa beli."
Digar mengernyit, "emangnya dia barang?" tanyanya membalikkan ucapan Jeff yang tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Resilience; AlGar
RandomSeseorang yang disebut 'anak haram' pun berhak bahagia, tapi nyatanya Alby tak pernah merasakannya. Rasa sakit sudah menjadi bagian dari dirinya sejak kecil namun, yang paling menyakitkan adalah saat ia dijual oleh ibu kandungnya sendiri.