Digar?
kenapa gak Doger aja sekalian, enggak, enggak mungkin, ya kali ada orang tua yang namain anaknya kek gitu.
"Kenapa?" tanya Digar karena Alby menatapnya tanpa berkedip.
Alby menggeleng lalu dengan wajah polos ia mengacungkan jari jempolnya. "Nama lo bagus. Mirip nama es, pantes muka lo asem."
Digar menunduk seraya menurunkan sedikit kacamatanya agar mata mereka saling bertemu.
"Apa?" Digar menatap intens manik berkilau di hadapannya.
"Makanya jan pake kacamata item, gak denger kan lo," cibir Alby lalu berjalan mendahului Digar.
Digar mengernyit, sinyal otaknya yang lelet atau memang Alby yang gangguan? Ia mengangkat bahu tak acuh kemudian kembali melangkahkan kaki.
Alby berjalan agak jauh di depan Digar sambil celingak-celinguk. Namun, ia tiba-tiba berbalik mendekati Digar dan berjalan di sampingnya.
"Kenapa?" tanya Digar dengan alis yang mengerut.
"Orang-orang ngeliatin gue mulu, pasti gegara gaya gue aneh." Alby menunduk menatap penampilannya, memakai piyama yang bawah celananya digulung, hoodie oversize, dan sendal rumah. "Jadi mending jalan di sebelah lo aja, kan sama anehnya," sambung Alby seraya menatap Digar.
Digar hanya menatap Alby datar, "terserah," sahutnya karena Digar memang sudah terbiasa dikatain aneh karena penampilannya yang selalu serba hitam dan memakai kacamata hitam pula.
Mereka berdua berjalan berdampingan, terlihat seperti langit dan bumi. Perbedaan tinggi keduanya cukup mencolok, Alby yang tingginya hanya sebahu Digar terlihat sangat mungil.
"Lah ini udahan belanjanya?" tanya Alby saat Digar berjalan ke arah kasir.
"Mau belanja apa lagi?"
Alby mengernyit menatap belanjaan yang ada di troli. Hanya ada keperluan mandi, mi, dan makanan ringan. "Kalo lo belanja cuman segini ngapain bawa-bawa troli elah, kenapa gak pake keranjang aja?" tanya Alby tak habis pikir.
"Suka-suka," jawab Digar membuat darah Alby mau naik lagi.
Alby mengatur napas supaya enggak emosi jiwa, "Lo gak mau beli bahan dapur? gue peratiin dapur lo kosong melompong kek dompet."
"Ngga, gada yang masak," jawab Digar membuat Alby mengerjap.
"Terus selama ini kalian cuman beli makanan di luar?" Digar mengangguk singkat sebagai jawaban.
Alby menghela napas, ia mendongak menatap Digar. "mulai sekarang gue yang masak." ucapnya mantap. Yah setidaknya Alby harus jadi manusia yang berguna untuk orang yang sudah membelinya.
Digar mengangkat sebelah alisnya, "emangnya lo bisa?" tanyanya sedikit meragukan anak yang ada di sampingnya ini.
Alby menjentikkan jarinya sambil tersenyum remeh, "masak mah gampang, bikin supaya makanannya enak itu yang susah," jawab Alby membuat Digar kini 100% ragu.
"Kalo gitu mending gue tetep beli makanan luar aja."
Alby mendengkus kesal, lalu melipat tangannya di depan dada, "au ah ngomong ama lo pegel banget leher gue. Kalo gue bilang gue yang masak ya iyain aja napa si? masakan gue gak seburuk yang lo pikirin, ya!" misuh Alby lalu mencebikkan bibirnya.
Digar menahan dirinya agar tak menarik sudut bibir saat melihat tingkah Alby yang ntah bagaimana terlihat menggemaskan di matanya.
"Terserah," jawab Digar datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Resilience; AlGar
AcakSeseorang yang disebut 'anak haram' pun berhak bahagia, tapi nyatanya Alby tak pernah merasakannya. Rasa sakit sudah menjadi bagian dari dirinya sejak kecil namun, yang paling menyakitkan adalah saat ia dijual oleh ibu kandungnya sendiri.