09. Jimin's Explanation

276 60 3
                                    

Ini masih sore, namun langit tampak meredup dengan tanpa terlihatnya matahari di atas sana. Air Tuhan pun tumpah nyaris beriringan. Dedaunan kering jatuh, beberapa di antaranya tergeletak di atas genangan air.

Aku menyesap kopi cappucino instan yang kubuat. Menatap ke arah jendela, menatap suasana luar yang cukup berisik hingga memasuki dalam rumah. Hujan memang selalu berisik, apalagi jika sedang deras-derasnya. Namun aroma khas ketika hujan itu sendiri selesai adalah yang aku sukai, meski sedikit benci dengan suaranya yang berisik karena terkadang mengganggu konsentrasi berpikirku. Aku termasuk tipe dari golongan manusia yang membutuhkan suasana hening atau bila perlu sepi untuk berpikir atau mengerjakan sesuatu.

Diriku mendadak melamun, hingga sekelebat wajah Taehyung melewati khayalanku. Kepalaku seketika berubah tegak. Memilih untuk kembali menyesap kopi yang masih hangat. Entah mengapa akhir-akhir ini aku menjadi sering memikirkan Taehyung. Ini tidak seperti diriku yang biasanya. Aku tak pernah seperti ini, kecuali mungkin pernah saat itu orang tuaku yang mendadak tak ada kabar dalam perjalanan bisnisnya dan Jimin yang akan terbang untuk urusan pekerjaan untuk pertama kalinya.

Terkadang aku merasa Taehyung seperti menjaga jarak dengan diriku. Terkadang pula selalu mencari alasan ketika aku memintanya untuk bersama dalam beberapa hal. Seperti yang ku beritahu waktu itu, ia seolah tak mendengar seruanku ketika aku berteriak memanggil namanya untuk pulang bersama atau beralasan bahwa Jimin ingin menemui dirinya karena rindu dan ingin bermain game bersama. Namun seakan dirinya benar-benar orang yang sibuk, maka selalu ada alasan untuk dirinya menolak ajakan ku secara halus. Aku tahu itu dan aku tidak bodoh.

Jenjangku berhenti tepat di depan pintu kamar Kakakku. Ini masih pukul setengah lima sore dan tak mungkin pria itu sudah memasuki bunga tidur malamnya.

Aku mengetuk dua kali pintu kayu di hadapanku lantas membukanya ketika mendengar samar dehaman di dalam yang secara tidak langsung mempersilakan diriku untuk masuk. Sesuai dugaan ku dan benar saja bahwa pria Park itu sedang sibuk dengan tab miliknya seraya mengerutkan dahi sesekali.

"Tidak biasanya kau kemari. Ada apa?" Jimin bertanya dengan atensinya yang masih berpusat pada tab yang bahkan tak muat untuk digenggamnya secara utuh dalam satu tangannya.

"Tidak ada," ujarku yang setelahnya menyesap kembali kopi yang masih kugenggam sejak di dalam kamarku tadi.

Jimin melirikku melalui ekor matanya dengan pandangan meremehkan. Aku tahu itu tanpa perlu melihatnya langsung ke arah Jimin.

"Dirimu pikir aku anak sekolah menengah yang langsung percaya dengan perkataanmu itu, huh?"

Jimin kembali menggulirkan layar tab miliknya usai mengejekku dengan kata-katanya tadi. Aku yang sudah sedari tadi duduk di atas ranjang Jimin pun meletakkan cangkir kopiku pelan di atas kasurnya. Menunduk sekali sebelum kembali menatap Jimin yang masih terfokuskan pada benda persegi panjang di tangannya dengan punggung yang bersandar pada kepala ranjang.

"Hei, kau merasa aneh tidak—"

"Aku bukan teman sebayamu, sialan! Hormatlah sedikit pada Kakakmu ini."

Aku sedang tak ingin berdebat, maka aku hanya merotasikan mata jengah lalu kembali melanjutkan kalimatku yang tertunda.

"Kak, dirimu merasakan keanehan pada Taehyung tidak?" Aku masih menatap Jimin yang seketika berhenti dari acara gulir-menggulir layar tabnya itu. Menoleh ke arahku cepat lantas menaruhnya begitu saja tab miliknya itu tanpa perasaan.

Jimin sedikit mendekat ke arahku dalam sekali gerakan. Menatapku antusias lalu setelahnya berujar dengan lantang nyaris membuatku jantungan.

"Sudah aku duga, pasti kau akan menanyakan itu. Kenapa? Kau rindu Taehyung?"

Aku menatapnya aneh lantas menggelengkan kepalaku pelan sebab merasa tak habis pikir dengan pemikiran Kakakku yang seenak jidatnya.

"Kau bergurau? Mana mungkin diriku merindukan Taehyung. Itu tidak lucu, sungguh." Aku kembali meraih kopiku dan menyesapnya.

Jimin menggelengkan kepalanya lalu kembali memundurkan tubuhnya bersandar pada kepala ranjang seperti semula dengan tab miliknya yang sudah kembali berada di genggamannya.

"Diberitahu malah mengelak."

"Kau saja yang aneh, mana mungkin aku bisa merindukan Taehyung," ujarku kembali meminum cappucino milikku.

"Ternyata Adikku itu bodoh."

Aku mendelik menatap tak terima perkataan Jimin yang seolah mengolok diriku.

"Kau pikir mengapa Taehyung tak lagi sedekat dulu kepada dirimu? Dia tak ingin jatuh terlalu dalam. Ketika seseorang mencintai dalam diamnya seorang diri tanpa berani mengungkapkan sebab beberapa faktor, maka pilihan terakhirnya adalah itu. Perlahan menjauh hingga tak terlalu jatuh dalam kubangan yang dirinya buat sendiri."

Aku yang sedang menyesap kopi terhenti kala mendengar rentetan kalimat yang mendadak membuat serebrumku berpikir keras. Tak dapat secara langsung memproses begitu saja perkataan panjang Jimin yang menyulitkan kinerja otakku bekerja lebih keras.

Aku kembali menoleh menatap Jimin yang tengah berkutat pada tab miliknya itu. "Maksudmu? Aku tak paham dengan perkataanmu, Kak." Aku kembali meminum kopiku yang nyaris tandas isinya. Aku sangat menyukai kopi.

"Kau itu bodoh, ya? Taehyung jelas-jelas menyukaimu di luar hubungan pertemanan. Itu semua terlihat dari caranya memandang dirimu dan memberi perhatian padamu. Dia berusaha menyampaikan perasaannya melalui sikapnya selama ini, namun kau tak kunjung peka terhadap sinyal yang dirinya berikan."

Mendadak tanganku yang ingin meletakkan cangkir di atas kasur terhenti, mengambang di udara sesaat lalu meletakkan cangkir itu perlahan. Menatap Jimin yang kini juga menatapku setengah frustasi.

"Kau mengarang. Dirinya tak mungkin seperti itu, semua itu sangat mustahil." Aku terkekeh sebentar lantas kembali melanjutkan aksaraku. "Lagi pula, jika memang bahwa dirinya menyukaiku, maka ia akan secara terang-terangan mengatakannya padaku. Dia tak mungkin berdiam diri dan bersembunyi seperti itu. Aku kenal Taehyung karena dia temanku."

"Ya, kau adalah temannya." Jimin menjeda perkataannya sesaat lalu kembali berujar. "Seperti itulah pemikirannya sebelum berpikir untuk mengungkapkan isi hatinya padamu. Dia takut jika kau hanya menganggap dirinya teman dan jikalau dirinya benar-benar mengungkapkan perasaannya, kau akan menjauh darinya setelah mengetahui perasaannya."

Aku diam pun Jimin juga diam. Kami saling menyelami kedua netra satu sama lain. Bisa aku lihat bayangan diriku di manik sipit Jimin. Aku juga bisa melihat kesungguhan ketika Jimin menjelaskan rentetan kalimat yang kini berputar terus menerus di serebrumku.

Kami saling bertatapan hingga pandangan kami terputus kala suara notifikasi yang aku yakini berasal dari ponsel milik Jimin berbunyi memenuhi seluruh penjuru kamar bernuansa putih kelabu ini. Pesan pop up terpampang pada layar Jimin yang sedikit retak di bagian bawah layar ponselnya yang jaraknya tak jauh dari posisi dudukku. Tanpa sengaja aku membacanya dan isi keseluruhannya membuatku tak mengerti. Jimin pun turut menatap ponselnya yang kemudian mengambilnya cepat kendati percuma sebab aku sudah membacanya habis.

Taehyungie!:
Kak, bisa bertemu? Aku ingin menemui dirimu berdua saja. Bisa pastikan bahwa Jihye tak mengetahuinya?

 Bisa pastikan bahwa Jihye tak mengetahuinya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[]

ENDLESS REGRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang