12. Reply

276 48 3
                                        

Hamparan luas gulita di atas sana terlihat kesepian tanpa kartika yang menghiasi cakrawala seperti sebelumnya, bahkan rembulan tak terlihat eksistensinya sebab tertutupi oleh gumpalan pekat yang bergerak terlampau lambat akibat tiupan sang bayu meski bagi sebagian makhluk hidup di bawah terasa cukup kuat.

Seolah semakin lama kegiatan tak disengaja yang menatap langit malam di saat cakrawala bersiap untuk kembali menangis menjadi rutinitas. Lalu isi pikiran yang dipenuhi oleh satu makhluk hidup pun menjadi kebiasaan baru. Menatap langit gelap seraya menunggu air Tuhan tumpah layaknya seorang melankolis bukanlah gaya seorang Park Jihye sama sekali. Untuk anak perempuan dari keluarga Park satu ini, diriku bahkan terlampau apatis untuk segala macam perubahan cuaca. Bertolak belakang sekali dengan pria Park yang menyandang gelar sebagai Kakakku itu, pria itu bahkan terlalu peduli pada nyamuk yang diriku pukul hingga tak bernyawa sebab telah berani menggigit epidermisku dan mencuri darah segarku tanpa seizin empunya.

Berbicara tentang Park Jimin si pemuda nyaris tiga puluh tahun yang gemar menjadi single tetapi suka memberikan harapan pada wanita dan dihempaskan begitu saja ketika si dara sedang sayang-sayangnya, pria itu akan pergi ke Busan membantu pekerjaan Ayah kami sebagai anak laki-laki satu-satunya yang sangat diandalkan. Kata pria yang katanya lebih tinggi dari diriku itu, Ayah sedang sedikit tidak dalam kondisi tubuh yang baik untuk menghadiri salah satu acara dari koleganya yang begitu di hormati. Sebab kondisi yang sedikit tidak baik itu pula kepulangan Ayah dan Ibu ke sini kembali di tunda sejak beberapa hari yang lalu.

"Diriku hanya seminggu berada di sana, sekalian melihat kondisi Ayah dan Ibu."

Aku hanya diam menatap pria itu yang berdiri di depan pintu kamarku seraya kedua tangannya yang sibuk membenarkan koper hitamnya.

"Aku rasa uang untuk kebutuhanmu akhir bulan ini cukup, tapi untuk berjaga-jaga jika dirimu sedang dalam fase berkebutuhan banyak, aku akan mengirim lagi ke rekeningmu."

Pria itu akan pergi, namun masih memikirkan kebutuhan diriku yang bahkan lebih dari kata cukup. Dapat ku pastikan bahwa uang yang dirinya transfer tidaklah sedikit seperti maksud dari perkataannya yang katanya untuk berjaga-jaga.

"Jangan lupa untuk makan teratur dan tepat waktu. Jangan selalu memakan roti seperti saat itu. Apakah dana yang diriku sumbangkan untuk dirimu terlampau sedikit sehingga untuk makan saja kau seperti makhluk hidup yang tidak diberi nafkah?"

Lihat dan dengarkan perkataannya yang ingin sekali ku sumpal dengan kaus kaki busuknya yang sialnya sudah ku cuci. Meski demikian, diriku tahu bahwa pria yang tengah berjalan menuruni anak tangga seraya membawa koper besarnya sendiri itu khawatir terhadap eksistensiku yang bahkan aku sendiri tidak terlalu peduli.

Aku berjalan mengekorinya yang melangkahkan kakinya menuju pintu utama rumah tak besar ini. Jimin terlihat memeriksa barang-barangnya sekali lagi dan melirik jam tangannya yang melingkar di tangan kirinya. Sempat berpikir, apakah tidak sebaiknya pria itu mencari pendamping hidup agar ada yang memperhatikan dirinya sehingga tidak melulu dirinya yang memperhatikan orang lain.

"Urus dirimu sendiri terlebih dahulu, baru setelah itu pikirkan orang lain."

Jimin menoleh menatapku yang tengah bersedekap di depannya. Pria Park itu terlihat berkacak pinggang seraya membalas tatapanku dengan satu alisnya yang menukik.

"Jika kau tidak terurus, bagaimana diriku bisa tenang? Kebahagiaan dan keteraturan kalian adalah apa yang diriku rasakan juga."

Lalu raut seriusnya itu berubah menjadi senyuman tulus hingga menghilangkan kedua mata segarisnya. Aku kembali mengekorinya hingga menghilang di telan tikungan bersamaan dengan mobil hitamnya sejak tiga tahun yang lalu. Meninggalkan diriku di depan pagar lantas kemudian berjalan memasuki hunian yang telah kembali diriku tempati sejak beberapa tahun terakhir ini. Keadaan rumah tampak sunyi dan lebih sepi. Bertepatan dengan masuknya diriku ke dalam rumah, air Tuhan yang semula berupa rintikan kemudian berubah deras itu turun kembali membasahi bumi dan membuatnya menjadi lebih lembab. Memenuhi kubangan dengan cairannya hingga menjadi genangan.

Seakan kembali memutar memori sejak kedatangan pria Park itu dan kepergiannya hari ini beberapa menit yang lalu. Bahkan perkataannya terlalu membekas dalam ingatan sehingga seolah runguku kembali mendengar untaian aksara dari aksen suara khas pria bernama Park Jimin itu.

Kebahagiaan pria itu ada di dalam kebahagiaan orang-orang terdekatnya.

-o★o-

Diriku kembali di tempat yang sehari sebelumnya sempat aku kunjungi. Tidak tahu juga mengapa dari sekian banyak tempat, justru taman belakang sekolah adalah pilihannya. Padahal tak ada yang istimewa dari tempat yang penuh dengan ilalang dan tumbuhan menjalar yang tak terurus terlihat merambati dinding bangunan sekolah.

Memilih berdiri di sebelah kursi panjang mirip kursi taman yang tampak berkarat dan beberapa sisinya nyaris rapuh. Berdiri dalam kebisuan seraya melipat tangan di depan dada dengan sesekali menoleh mengedar ke segala penjuru, menunggu tidak sabaran.

"Ada apa menyuruh diriku ke mari?"

Merotasikan daksaku cepat menghadap belakang, mendapati gadis dengan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai hingga sebatas punggung.

Aku berjalan mendekat, hanya beberapa langkah tanpa mencoba mengikis jarak lebih dari ini.

"Soora, ada yang ingin aku katakan dan itu tentang Taehyung. Aku harap-"

"Lalu apa peduliku antara kau dan sepupuku itu?"

Aku menghela napas pelan. "Aku tahu kau mengetahui apa yang tengah terjadi antara aku, Minho dan Taehyung. Tapi aku benar-benar ingin mengatakan padamu tentang ini. Aku juga tidak tahu mengapa, tapi seolah aku benar-benar ingin memberitahu dirimu."

Soora terlihat menatap diriku tanpa minat, namun aku kembali menghela napas sedikit panjang. "Aku akan menerima ajakan Minho agar menjadi kekasihnya dan meninggalkan Taehyung. Aku melakukan ini hanya untuk membantu keluarga Taehyung terbebas dari ancaman Minho yang menyangkut pautkan pada pekerjaan. Aku berharap kau tidak memberi tahu Taehyung tentang semua ini."

"Apa peduliku?"

"Aku tahu dan aku juga tidak tahu mengapa harus mengatakan ini semua padamu, tapi aku ingin mengatakannya."

"Kau bahkan masih tidak yakin dengan keputusanmu. Ingin melakukan kesalahan yang sama seperti yang lalu?" Soora berujar seraya tersenyum sinis meremehkan. "Dirimu tidak lupa wajah lebam Taehyung malam itu, bukan?" Soora melanjutkan.

Tentu saja tidak dan tidak akan pernah melupakannya. Bagaimana pria Kim itu yang telah memperingatkan dan berusaha menjadi pahlawan yang berakhir tak jauh beda dengan korban.

Kami terdiam, membiarkan keheningan melingkupi atmosfer yang ada di sekitar kami. Membiarkan kami berdua tenggelam dalam pemikiran yang tak jauh berbeda. Membawa pada berbagai jika dan andai lantas menyusunnya dan menyesuaikan hingga menjadi suatu gagasan yang kuat.

"Dirimu menginginkan aku pergi, bukan?"

Dalam atau tarikan napas, seolah tampak begitu yakin yang sesungguhnya ada bagian dari diriku sendiri terasa sanksi terhadap kemungkinan terburuk yang akan hadir.

"Mungkin dengan cara seperti ini, bisa membalas kebaikan pria Kim itu terhadap diriku meski jauh dari kata sebanding."

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[]

[A.N]: Kayak gak ada hari esok, dini hari gini ngasih notif:"

ENDLESS REGRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang