17. Proximity

232 30 1
                                    

"Dirimu makan dengan baik?"

Aku berdeham menjawab pertanyaan pria yang suaranya memenuhi runguku yang tersumbat earphone seraya tungkaiku yang melangkah menyusuri trotoar.

"Tidak aku sangka ternyata memakan waktu lama seperti ini. Aku sempat mengira bahwa hanya akan memakan waktu satu pekan, namun nyatanya nyaris satu bulan." Pria itu menghela napas.

"Kau memang pembual."

"Ya! Kau pikir diriku di sini bersenang-senang?" Jimin berteriak dan itu nyaris membuat telingaku tuli. Mungkin dirinya berpikir bahwa suaranya sedap terdengar.

"Kau pikir diriku tidak tahu unggahan foto miliknya di sosial media?" Langkah kakiku berjalan mendekati halte. Duduk di bangku yang telah disediakan seraya melirik jam yang tertera di layar ponsel.

"Oh, ternyata diam-diam kau memperhatikanku? Tidak biasanya dirimu memperhatikan media sosial." Terdengar suara pria di seberang sana meledek diriku.

"Pernah satu kali tidak sengaja membuka ketika muncul notifikasi darimu," ujarku seraya memandang cakrawala yang tidak berbeda dari hari kemarin. Mentari tak tampak, tertutupi oleh gumpalan awan yang sedikit kelabu.

"Tidak perlu malu untuk mengakuinya, aku tahu bahwa kau memperhatikan diriku."

Aku mendesah mendengar penuturan penuh rasa percaya diri itu. Pembahasan ini tak akan berhenti jika tak ada yang mengalah di antara kami dan itu pasti adalah aku.

"Terserah."

"Kami akan tiba besok pagi, dirimu tidak perlu menjemput. Aku sudah memberitahu asisten rumah dan dia akan membersihkan kamar orang tua kita. Sekarang mereka sedang ada pertemuan di tempat makan, mungkin akan pulang sekitar pukul sembilan."

"Mengapa tidak menemani?" Melangkahkan kaki memasuki bus lalu menempelkan kartu milikku pada mesinnya.

"Dirimu tahu sendiri, teman perusahaan Papa membawa seorang wanita dan firasatku buruk. Aku berkata bahwa harus mengabari klien yang ada di sana dan juga dirimu, sedikit diberi bumbu."

"Kau berbohong?" tuduhanku terhadap dirinya setelah mendapatkan tempat duduk.

"Mungkin, aku mengatakan kau sedang mengalami kecelakaan kecil dan kakimu terkilir."

"Sialan, kau ingin diriku demikian?" Aku memaki dengan suara yang dipelankan, takut jika penumpang lain mendengar dan mengira diriku adalah orang dengan pribadi yang buruk. Sekalipun diriku tidak terlalu mempedulikan pendapat orang banyak, setidaknya aku masih mempunyai akal sehat untuk tidak berbicara tidak sopan di lingkungan umum.

"Calm down, baby. Aku akan mengatakan yang sebenarnya kepada mereka nanti." Pria itu terkekeh hingga suaranya terdengar seperti tengah tersedak. "Sialan, air ini ingin membunuhku?"

Aku tersenyum mendengarnya seraya menatap pemandangan luar dengan kendaraan yang diriku tumpangi ini bergerak. Jika tidak ceroboh, bukan Park Jimin namanya. Pria itu bahkan sering terjatuh dari kursi yang dirinya duduki.

"Jaga dirimu, aku menyayangimu."

Mendengar dirinya berujar demikian, lantas segera aku matikan sambungan kami. Jenjangku melangkah menyusuri koridor, melewati setiap kelas dengan earphone yang masih tersangkut di kedua telingaku kendati tak ada suara apapun yang terdengar dari alat tersebut.

Tungkaiku melangkah memasuki ruang kelas yang berisik namun perlahan mereda. Mencoba untuk apatis terhadap beberapa pasang mata yang memandang diriku, beberapa di antaranya juga terdengar berbisik samar yang tidak jelas terdengar. Langkah kakiku berhenti ketika telah sampai di dekat mejaku, duduk di kursi milikku dengan pandangan mata yang masih menatap lekat kotak susu di atas meja.

ENDLESS REGRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang