23. Disappointed

368 33 2
                                    

Dilingkupi hening dengan daksa yang dipeluk dingin. Rebas-rebas air Tuhan menjadi musik utama sebagai teman malam yang kian larut. Dingin, tetapi masih dapat dihangatkan dengan mesin yang bekerja sejak dinyalakan setengah jam yang lalu di atas nakas.

Jemariku masih bergerak di atas kertas dengan pena yang diriku pegang, membentuk abjad-abjad yang kemudian membentuk satu hingga banyak kalimat. Sesekali mulutku terbuka, menguap. Melihat deretan huruf sesungguhnya cukup membuatku cepat mengantuk. Beruntungnya Haneul dengan baik hati menawarkan jawaban yang dia punya untuk diriku salin. Seharusnya aku berbaik hati pada Haneul mengingat bagaimana perlakuan gadis itu padaku.

Di sela-sela hening serta suara rintikan hujan yang setidaknya menenangkan pikiranku, terdengar pintu terketuk lantas terbuka setelah diriku beri aba-aba.

Itu Jimin, datang dengan satu nampan berisi dua gelas kopi dan satu piring biskuit susu. Mencoba apatis dengan kehadiran dirinya yang semula tidak sempat diriku perkiraan, pria itu kini meletakkan nampan itu di sisi meja kosong yang aku tempati.

"Mengerjakan tugas?"

Aku diam tidak menjawab.

"Sejarah? Apakah sulit? Diriku bisa membantu."

Tak ada sahutan dan agaknya pria Park di sisi kiri ku ini belum ingin beranjak, entah apa tujuan pria itu di sini dan aku mencoba tidak peduli.

"Kau menyalin punya orang lain? Dirimu tidak berubah juga. Kamu lupa punya Kakak Kandung secerdas diriku? Aku kesayangan Ayah Jung saat pelajarannya jika dirimu ingin tahu."

Sungguh, aku tidak ingin tahu apapun. Apakah pria yang katanya Kakak Kandungku ini mempunyai kepekaan rendah? Apakah dirinya tidak paham jika aku tidak ingin berbicara dengannya?

Sekadar informasi, Ayah Jung yang Jimin sebutkan adalah Guru sejarah yang mengajar Jimin saat sekolah menengah dan kebetulan Guru sejarah itu merupakan Ayah dari teman dekatnya. Sudah jelas Jimin dekat dengan keluarga mereka, siapa yang dapat menolak kehadiran pria itu? Aku akui bahwa sisi positifnya cukup kuat dan sangat bertolak belakang dengan kepribadianku.

"Kali ini menyalin punya siapa? Jangan katakan milik Taehyung."

"Jika tidak ada keperluan lebih baik keluar dari kamarku."

Tidak tahu, dari semua nama seseorang yang dekat denganku, kenapa harus Kim Taehyung yang selalu pria Park ini sebut? Aku curiga keduanya ada sesuatu yang tidak diriku dan orang lain tahu hingga isi pikirannya hanya tentang pria bermarga Kim itu.

"Ah, aku ingin menemanimu dan membicarakan sesuatu."

Aku diam hingga Jimin menarik kursi kecil lain di sudut kamar ini untuk duduk bersisihan denganku. Diriku tak memperhatikan gerak pria itu, tapi aku tahu bahwa pria itu dua kali membasahi bibir bawahnya dengan lidahnya dan memperhatikan tulisan dan wajahku beberapa kali secara bergantian.

"Aku ingin minta maaf tentang hari itu saat acara makan malam bersama teman barumu."

Aku sudah menduga akan terjadi hal seperti ini ketika kedatangan pria itu ke kamar ini.

"Diriku tidak bermaksud demikian."

Hening merambat, menyelimuti atmosfer yang terasa sedikit canggung. Jimin tampak duduk dengan gelisah di tempatnya, dapat dilihat dari cara duduknya yang tidak bisa diam.

"Ji, kau dengar aku? Maaf."

Atensiku masih pada kertas di hadapanku dengan bibir yang terkatup, tampak tak berniat membalas perkataannya.

"Jihye—"

"Lupakan saja dan sekarang pergi dari sini."

"Jiya..."

ENDLESS REGRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang