06. Concern

396 84 70
                                    

"Ada lagi yang ingin kau pesan, Ji?"

Suara berat seorang pria dengan aksen khasnya menyapa rungu. Mengalihkan atensiku yang semula menatap buku menu dalam genggamanku kini mengangkat kepala menoleh kearahnya yang kini menatapku dengan raut bertanya. Gelengan kepala ku hadiahkan guna menjawab pertanyaan yang ditujukan padaku.

Netra kembarku menyorot nyaris setiap sudut memperhatikan sesaat keadaan sekitar yang nampak sedikit bising pun ramai. Disinggahi nyaris seluruh remaja, hanya satu atau mungkin lima orang yang usianya tak lagi remaja.

Mungkin tempat yang menjadi singgahan pertama kami-aku dan Jungkook-sejak awal Jungkook menjemputku dua jam yang lalu adalah salah satu tempat yang banyak peminatnya. Terlihat dari banyaknya orang yang datang untuk sekedar memesan kopi atau minuman dan makanan kecil lainnya. Tak heran juga jika tempat yang disebut cafe Soul ini menjadi tempat yang diminati ketika melihat interior yang ada di dalamnya. Berdesain klasik dengan warna yang didominasi oleh putih, namun seolah menyajikan jiwa para remaja masa kini dengan gayanya sendiri.

"Bagaimana kabarmu, Ji?"

Aku menoleh menatap perawakan yang kini tengah melipat kedua tangannya di dada seraya maniknya yang menatapku. Setengah tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini.

Pria yang tak pernah terlihat sekitar lima tahun belakangan ini, kini duduk di depanku dengan perawakan yang sedikit berbeda. Wajahnya yang tampan dengan uratnya yang terlihat menonjol mengitari sebagian tangannya ketika sedang bersedekap. Jangan lupakan kedua bahunya yang terlihat cukup lebar untuk anak menengah atas yang terlihat nyaman apabila kepalaku bersender di sana. Membuat debaran yang dulu sempat terasa kini kembali timbul memberikan rasa nervous yang masih bisa kutahan agar tak mempermalukan diri jika itu sampai meluap.

"Aku baik, kau sendiri?" Is this really me? Jika kalian belum tahu, biar kuperjelaskan di sini. Basa-basi sama sekali bukan gayaku. Basa-basi hanya membuang waktu yang seharusnya dipergunakan untuk membicarakan topik yang penting. Tapi entah mungkin karena pengaruh pria di depanku ini yang terlalu berbeda atau memang diriku yang sedikit error kali ini.

"Aku baik. Ah, kau tahu? Aku sangat senang akhirnya kau meluangkan waktumu untukku. Senang dapat bertemu denganmu lagi, Ji." Senyum Jungkook kian mengembangkan kala dirinya mengakhiri kalimat. Kedua pipinya tertarik hingga matanya sedikit menyipit juga hidungnya yang mengkerut lucu dan semakin sempurna lagi ketika gigi kelincinya terlihat. Benar-benar lucu dan sangat pas di wajah tampannya itu.

Wah, sudah berapa kali aku memuji dirinya?

Aku memilih ikut tersenyum seraya menundukkan kepala. "Aku juga."

See? Aku tak begitu pandai berbasa-basi.

Lalu detik selanjutnya seorang pelayan dengan seragam berwarna pistachio yang dipadukan dengan warna mocca juga apron pinggang yang berwarna senada dengan seragamnya meletakkan dua cangkir minuman dan tiga porsi makanan di atas meja kami.

Bukan, bukan aku yang memesan dua porsi makanan untuk diriku sendiri hingga ada tiga di meja kami. Itu adalah pesanan Jungkook. Ia tadi mengatakan padaku saat aku menanyakan tentang dia yang memesan dua porsi untuk dirinya, bahwa;

"Seporsi saja aku tidak akan pernah cukup, Ji. Apalagi sepertinya mereka hanya memberi sepotong roti untuk satu porsi. Aku tidak akan hidup jika seperti itu, Ji."

Jungkook dan perutnya itu adalah sesuatu. Jika beberapa diantara banyak orang yang ketika makan sesendok akan cepat makmur, ia justru berada digolongan lain. Makan sebakul tak akan menjadikan dia gempal. Sedangkan aku ada digolongan pertama.

ENDLESS REGRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang