24. Fairground

216 26 5
                                    

Sesungguhnya aku mengakui bahwa diriku bukan manusia yang mudah peka terhadap beberapa hal dan itu yang sesekali membuat sebagian orang merasa sebal akan pribadiku.

Sejak dulu yang aku ingat, di saat sekolah dasar memiliki satu dan menengah pertama pun diriku hanya memiliki dua teman. Saat sekolah dasar, kami kehilangan kontak satu sama lain, sedangkan menengah pertama ada Haneul dan Soora. Kebetulan juga kami diterima di sekolah yang sama saat lulus kala itu. Seingat diriku, Haneul adalah pribadi dan ceria, sedangkan Soora pribadi hangat dan dewasa. Setidaknya sampai saat itu.

Terkadang diriku juga tidak paham dengan kesalahan sendiri dan itu sering menimbulkan pertengkaran antara aku dengan Jimin. Seperti saat ini, dirinya tampak diam di saat makan siang. Biasanya pria itu sesekali mencairkan suasana, entah membahas tentang pekerjaan ataupun hal tidak penting lainnya. Namun, diriku perhatikan tak ada yang menyadari.

"Diriku sudah selesai."

Aku melihat pria yang duduk di seberangku itu berdiri.

"Aku akan kembali ke kantor, ada hal yang diriku lupakan."

Papa hanya mengangguk tersenyum begitu juga Mama seraya mengatakan 'hati-hati di jalan' pada pemuda Park itu.

Diriku turut berdiri dan segera menghampiri Jimin yang masih berdiri di ruang tamu dengan ponsel di genggamannya.

"Kak," panggilku pelan.

Jimin menoleh, tapi kemudian tampak bersiap untuk pergi yang kemudian pergelangan tangannya kucekal.

"Kak, aku berbuat kesalahan?"

"Menurutmu?"

"Tidak."

"Ya sudah."

Jimin ingin kembali pergi, tetapi aku paksakan menetap.

"Apa ini tentang malam itu di kamarku?"

Dirinya diam dan aku segera mengambil kesimpulannya dari diamnya. Pemuda Park itu jika sudah diam, maka dapat ditebak bahwa ada yang membuat perasaan atau pikirannya berantakan. Jimin bukan pribadi yang gemar membuang air muka percuma seperti, berpura-pura baik-baik saja seraya mengumbar senyum jika ada yang menyenggol perasaannya. Kami bertolak belakang dan tidak jarang pertengkaran seperti ini terjadi, aku menganggapnya wajar.

Aku menghirup udara sedikit rakus sebelum memulai percakapan. "Baiklah, aku mengakui bahwa yang kulakukan sedikit salah—"

"Cukup, bukan sedikit."

"I-iya, cukup salah. Maaf."

"Bukan padaku, lebih baik perbaiki dirimu terlebih dahulu."

"Iya, maaf. Jangan marah lagi."

"Aku pergi."

Lantas Jimin pergi setelah membungkuk tubuhnya seraya menatap Mama yang tanpa diriku sadari berada di belakang kami dalam jarak sekitar tiga meter.

Aku berbalik ingin kembali menuju ruang dapur yang merangkap sebagai ruang makan. Niat awal ingin membantu Mama dalam merapikan meja makan dan mencuci piring, tetapi pergerakanku terhenti sejenak.

"Nanti temani Mama mengunjungi rumah temanmu, ya? Sudah lama Mama tidak melihat dia."

"Temanku yang mana?" Aku kembali berjalan seraya memunguti piring dan alat makan kotor lainnya yang tergeletak di atas meja makan.

"Kim Taehyung. Memang siapa lagi jika bukan dia?"

Mama mengambil alih alat makan kotor yang diriku bawa untuk beliau cuci, sedangkan aku mengeringkan yang sudah di cuci dengan kain bersih.

ENDLESS REGRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang