20. Friend

248 27 0
                                    

"Mama dengar dari Kakakmu bahwa dirimu tidak pernah sarapan?" Mama bertanya seraya tangannya yang bergerak mengambil nasi untuk diberitakan kepada Papa yang kini sedang memegang ponselnya.

"Malas."

Mama terdengar menghembuskan napasnya. "Sarapan itu penting, mengapa dilewatkan? Dirimu akan sulit berkonsentrasi jika lambungmu kosong."

Aku hanya diam seraya meneguk susu cokelat milikku hingga tersisa setengah. Diriku tidak terbiasa untuk makan pagi, hanya tidak suka saja dan terasa aneh bagiku.

Jimin menghampiri kami bertiga dan duduk di sebelah kananku dengan pakaian yang telah rapi. Tampak sibuk dengan ponselnya sebelum berakhir ditaruhnya di atas meja sebab Mama yang menginterupsi.

Aku menggigit roti tawar tanpa selai ataupun mentega, hanya roti saja sebanyak dua lembar dengan susu cokelat yang kini nyaris tandas.

"Jim, kita tidak jadi untuk pergi bersama. Papa ada urusan di tempat lain, dirimu bisa mengantarkan Jiya terlebih dahulu ke sekolahnya." Papa kemudian menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya. Porsi makan Papa juga tidak banyak, hanya seperempat dari porsi biasanya.

Jimin mengangguk dan kembali menggigit roti selai cokelat ke dalam mulutnya. Semuanya terdiam sebelum Mama menimbulkan satu topik yang membuat seluruh pasang mata yang berada di meja makan menatap diriku penuh tanya.

"Mama melihat dirimu diantar pria kemarin. Tapi, agaknya itu bukan Taehyung."

"Teman."

"Dirimu punya teman pria selain Taehyung?"

Itu bukan suara Mama, melainkan suara Jimin yang terdengar seperti tak percaya terhadap pernyataanku.

Aku menggigit roti milikku, mengunyahnya dan menelannya. "Iya. Belum lama ini." Kembali mengambil gigitan pada roti milikku.

"Wahh, diriku setengah tidak percaya. Tapi, bagus jika dirimu mulai pandai bersosialisasi dengan orang lain."

Keadaan kembali hening dan diriku tidak berniat menjawab perkataan Jimin lebih lanjut.

"Ah, ajak Taehyung saat akhir pekan jika pria itu tidak sibuk. Mama rindu dengan pemuda Kim itu."

"Biar Jimin saja, Ma." Jimi. Terlihat akan meraih ponselnya.

"Tidak perlu, aku saja yang memberitahu dirinya." Perkataanku menghentikan pergerakan Jimin yang terlihat akan mengambil ponsel miliknya. "Kakak tidak perlu menelepon dirinya, aku akan memberitahu pria itu di sekolah nanti."

Semua kembali pada hidangannya masing-masing mengingat jarum jam kian mengikis waktu. Biasanya diriku akan pergi saja tanpa melakukan sesuatu seperti yang diriku lakukan saat ini. Berpamitan kepada kedua orang tuaku sebelum memasuki mobil Jimin.

Kami berkendara dilingkupi hening. Suara deru mesin mobil terdengar dan sesekali klakson kendaraan di luar berbunyi nyaring hingga terdengar diriku yang berada di dalam mobil.

Setidaknya kali ini ada suara Jimin yang mendominasi. Sebab, pria itu menerima telepon dengan handsfree yang menggantung di telinga kanannya. Diriku tak berniat untuk mengganggu dan tetap seperti itu hingga Jimin telah berhenti berbicara dengan seseorang di telepon sana sejak beberapa menit yang lalu.

"Diriku tidak bisa menjemputmu pulang. Akan aku kabari Taehyung dan menitipkan dirimu dengannya," ujar Jimin setelah menghentikan kendaraan roda empat yang pria itu kendarai ini di depan gerbang sekolah.

"Tidak perlu!" Diriku yang bersiap untuk turun dari kendaraan roda empat yang dirinya singgahi itu segera menginterupsi Jimin yang kini menatap diriku aneh ketika mendengar intonasi bicaraku yang sedikit meninggi.

ENDLESS REGRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang