PART 1 (1.2)

2.2K 1.9K 513
                                    

Aku periksa kembali catatan di tanganku, mencari nomor rumah yang tertera di kartu. Pelan-pelan, aku telusuri angka demi angka, hingga tiba di depan pagar tinggi berwarna orange. Nomor delapan adalah angka yang tertera di kartu namanya.

Aku melongok, mencari pemilik rumah. Namun, tidak ada siapa-siapa di dalamnya, rumah ini terlihat kosong. Apa benar, ini alamatnya? Atau ia sudah pindah? Tapi, aku yakin ini pasti rumahnya.

Aku tekan bel yang terpajang di samping pagar.  Jantungku berdebar, kaki keram, tangan basah oleh keringat, hati seperti melompat-lompat, sementara kepala pusing memikirkan mengenai reaksinya nanti ketika melihatku ada di sini. Apa ia akan tertawa? Apa ia akan tersenyum? Apa ia akan bahagia? Semoga apa yang diangankan adalah jawaban yang diharapkan.

“Are,” panggil seseorang di belakangku. Ternyata benar, ini adalah rumahnya. 

Mataku masih menatap pagar yang angkuh, sibuk merekam suara yang kutunggu-tunggu sejak dulu. Mengapa aku enggan menoleh? Tepatnya, tidak siap menatapnya? Jujur, aku bingung harus bereaksi seperti apa – linglung harus menjawab sapaannya bagaimana.

Konsentrasiku buyar. Ternyata benar, aku bisa merancang sedemikian rupa hanya dalam
khayalan, tapi tidak bisa merealisasikannya sesuai dengan apa yang direncanakan.

Tetap saja, hatiku berbunga ketika menghirup wangi kopi dari tubuhnya – bahagia ketika aku dan ia hanya berjarak satu langkah. “Kamu datang?”

Aku berbalik, meneguhkan perasaan. "Maaf," lirihku. Maaf yang seharusnya diucapkan dulu, ketika ia belum pergi.

Ia terpaku, perawakannya masih sama -- wajah bulat, rahang tegas, mata teduh, bulu mata lentik, bola mata cokelat, rambut pendek dan yang paling penting, lesung pipinya yang menenangkan, semua tentangnya yang membuat rindu.

"Kenapa baru sekarang?" tuturnya lantas membuatku tertegun. Rupa dan raganya masih sama. Namun, ada satu hal yang berbeda, tatapannya lebih asing dari terakhir kali aku melihatnya dulu.

"Maa ...."

"Pergilah," jawabnya ketus. Hatiku teriris, senyum luntur, rasaku lebur dilibas sikapnya yang semu. Tidak semestinya ia bersikap sedingin ini. Tidak seharusnya ia memperlakukanku begini. Aku tidak mau menerima penolakan darinya. Aku hanya ingin kembali padanya, mengulang semua hal yang sudah terlewatkan begitu saja.

"Kasih aku kesempatan," balasku tertunduk.
Ia bergeming, membuatku mati kutu.

"Kisah kita sudah selesai, Are ... kamu ingat, apa yang kamu katakan dulu padaku? Kamu menolakku mentah-mentah, dan sekarang kamu datang seperti tidak terjadi apa-apa?" sergahnya lebih dingin.

Hatiku remuk-redam tanpa bisa dielakkan. "Alka, aku tau salah, aku menyesal ... kamu tau posisiku waktu itu, bapak baru saja berpulang, dan pikiranku masih kacau ... ya, tak seharusnya aku menolakmu," jawabku tergugu. Alka Juan Maulana, sebaris nama yang sampai saat ini masih aku langitkan.

"Sudahlah, aku tidak ingin lagi mengulang apa pun."

"Tapi ini bukan tentangmu saja, Alka. Ini juga tentangku."

Alka, tidak merespons. Ia dingin, bagai manusia yang tak pernah mengenalku. "Pulanglah, jangan berharap apa-apa lagi ... kedatanganmu kemari, akan aku anggap tak pernah terjadi." Seraya berlalu. Aku peluk lutut yang tiba-tiba lemas. Setelah semua keberanian yang aku berikan untuknya, hanya sampai di sini batas perjuangannya untukku?

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang