PART 17 (17.1)

70 49 8
                                    

Jujur, aku butuh waktu menerima segalanya, belum se-kuat itu meski sekadar melihat wajah Aras di rumah sakit. Namun, tadi - ibu menyuruh membawa baju ganti ke rumah sakit – mau tidak mau harus dipenuhi.

Lagipula, ia tidak boleh tahu mengenai fakta ini, sudah cukup ibu terluka karena kehilangan pria yang dicintainya, dan aku tidak ingin ia sampai tersiksa saat tahu bahwa prianya tewas karena kebodohan orang yang teramat ia percayai.

“Baju gantinya sudah kamu bawa, Nak?” tanya ibu saat aku berdiri di lorong rumah sakit.

Aku angkat tas jinjing yang dibawa – menyerahkannya pada ibu.

“Sudah seharian kamu tidak datang ke rumah sakit ... ada apa, Are?” tanya ibu sambil meraih tas tersebut.

Aku tersenyum tipis. “Aku hanya lelah, Bu ... makanya istirahat di rumah.” Ibu mengangguk. Tidak lagi melanjutkan. “Bu, aku mau pulang ke Jambi – ke rumah lama kita,” celetukku kemudian.

Sontak, ibu langsung mengajak duduk di bangku taman rumah sakit, menjauh dari keramaian.

“Apa terjadi sesuatu, Are?” tukasnya kemudian, menelisik bagai mengerti beban berat yang tengah menimpa.

“Aku cuma rindu rumah kita, Bu … itu aja.”

“Kau sedang berbohong ... Ibu paham, kau sedang tidak baik-baik saja, Nak.” Ibu terlalu paham. Ini membuatku tidak bisa berkata-kata.

"Aku harus gimana sekarang, Bu?" Suara itu bergetar, tercekat oleh air liur sendiri.

Ibu menatap dalam, dan penuh hingga terlihat jelas bahwa ia pun telah sampai pada batas jenuhnya.

“Ini pasti berat buat kamu, tapi mau gimana lagi, Are ...  kau harus bisa melepaskan, Alka,” tutur ibu begitu saja.

Apa ini alasannya kenapa ibu selalu menyuruhku melepaskan, Alka? Sejak kapan ia tahu hal ini?
Sudahlah - lagian, setengah diriku adalah bagian dari ibu, jiwaku dan jiwanya berada dalam satu wilayah yang sama, ibu dan anak. Tentu, ia mengerti apa yang sedang terjadi, apa yang sedang kusembunyikan darinya.

“Maaf, Ibu tidak bisa memberitahumu apa pun, Are. Ibu gak mau kau terluka jika tau yang sebenarnya. Ibu tau gimana sakitnya saat dipaksa melepaskan, Nak ….”

Bendungan itu akhirnya meluap, tidak bisa lagi ditahan. Rasanya, seperti ada aliran yang tersumbat di tengah kerongkongan, mencabik-cabik aliran udara, memecahnya menjadi luka dan duka - mengalir tanpa bisa dihindarkan.

Ibu memeluk tubuhku, mendekap lembut, membiarkan aroma lemon menyeruak. Ingus mengucur, suara putus-putus, semuanya membuatku ingin tiada, bahkan kini baju ibu basah oleh air mataku.

“Aku gak tau lagi harus gimana, Bu - ini terlalu menyakitkan ….”

Ibu mengelus pundakku secara konstan. Aku selundupkan tiap perih itu dalam pelukannya, berusaha mengurangi sesak yang menjajah. Sialnya, aku kalah saat pelukannya semakin erat.

“Maafkan Ibu, Are …,” bidiknya lirih.

Aku tidak berkomentar, hanya terisak-isak entah untuk keberapa kalinya. Sungguh, pikiranku tidak bisa lagi diajak bekerja sama, sudah tidak mampu bertahan – tidak sanggup bertarung lagi. Alam sadarku seolah menjerit-jerit, meronta, mengemis tangis dari jiwa yang menyedihkan.

“Aku rindu bapak, Bu … sangat-sangat merindukannya.”

Teruntuk pertama kalinya, aku hancur di hadapan ibu.

******


Aku ratapi keramik rumah sakit, sambil menunggu Aras yang terlelap dalam tidurnya.
Ibu dan bunda sudah pergi sejak tadi, sementara aku masih sibuk mengira-ngira mengenai takdir yang mengikatku dengan Aras.

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang