PART 5 (5.3)

555 475 190
                                    

8 November 2017

Sudah lama, bapak ingin mengadakan kejutan ini untuk ibu. Bagi bapak, membahagiakan ibu adalah tanggung jawab yang harus dipenuhinya. Sebelum menikahi ibu, bapak sudah berjanji kepada kakek bahwa ia akan mencintai ibu, seperti kakek yang teramat mencintai anaknya. Itu sebabnya, ibu dan bapak, seperti pasangan remaja yang selalu dipenuhi cinta.

Peresmian warung soto yang diadakan hari ini, berhasil melukis senyum terindah di wajah ibu. Ya, inilah kejutan yang tengah disiapkan bapak untuk ibu. Dengan menggunakan pakaian batik yang dijahit oleh ibu, bapak tampak begitu tampan. Kumisnya sengaja dicukur, rambut pendeknya disisir ke belakang, sementara tubuh tambunnya disemprot wangi parfum yang menyengat.

Bapak sangat antusias, ia mengundang siapa pun untuk datang ke acara peresmian hari ini. Bapak tahu, membuka warung soto adalah cita-cita ibu sejak dulu. Ibu sangat lihai memasak.

Banyak yang menyarankan agar ibu bisa secepatnya membuka usaha ini, akhirnya setelah sekian lama, bapak berhasil mewujudkan impian ibu tersebut. "Are, lihat ibu kamu, dia senang sekali," bisik bapak di telingaku.

"Itu karena Bapak, berhasil mewujudkan mimpi, Ibu," jawabku percaya diri. Bapak hanya fokus memandang wanita yang dicintainya. Sementara, ibu sibuk dengan aneka pesanan yang menghampirinya.

Aku kagum ketika bapak berhasil menepati janjinya untuk setia pada ibu. "Cita-cita Bapak apa?"

Bapak merangkul bahuku. "Kan, udah kamu wujudkan ...."

Cita-cita bapak masih sama, belum berubah. Dari dulu, bapak hanya ingin melihatku bekerja di salah satu perusahaan media ternama di kotaku, dan syukurlah aku berhasil memperjuangkan impiannya tersebut, sekaligus berhasil mewujudkan impianku sendiri.

"Mengenai dia bagaimana, Nak?"
Bapak menunjuk Alka yang baru tiba. Mataku membulat, besar. Mulut enggan terkatup. Ini pasti ulah bapak dan ibu, bahkan dari kejauhan, Alka masih saja membuatku sulit bernapas.

Ya, Alka sedang menggunakan pakaian batik, persis seperti pakaian yang aku kenakan. "Paaak ...," rengekku.

"Ganteng, ya?" gumam bapak. Kepalanya naik-turun seperti sedang terpukau.

Alka semakin dekat, ia berjalan dengan gagah. Senyumnya seperti musim semi yang merayu, tatapannya bagai rumah yang sejuk, aroma kopi dari tubuhnya enggan berlalu. Ia membekukan udara di sekitarku, mencegat langkah, membuat terkesima, menghajarku hingga lebam membisu. Aku tepiskan ilusi itu, sebelum bapak meledekku.

"Bukankah, dia sudah cocok jadi menantu, Bapak?"

"Buat Bapak aja kalau cocok," bantahku cemberut.

"Nanti, ibu kamu cemburu," kelakar bapak dan menyuruh Alka semakin dekat.

"Ibuuu ...." Bapak langsung membekap mulutku.

"Kamu mau ngadu sama, ibu, 'kan?" Aku mengangguk, sementara bapak semakin kencang menutup mulutku dengan tangan besarnya.

"Kenapa dibekap, Pak?" tanya Alka ketika bergabung denganku dan bapak.

"Nakal," balas bapak pelan.

"Biar saya yang bekap, Pak," tawar Alka. "Jangan, belum mahram."

"Kan, sebentar lagi mahram." Alka mengedip ke arahku. Menyebut kata, 'Mahram,' dengan yakin.

"Kamu mendengarnya, 'kan?" gumamnya dan aku memilih mengangkat bahu.

"Eh, iya lupa," sela bapak dan aku masih berada di antara perebutan mereka berdua.

"Lepasin dulu, Pak ... Kan, bahaya kalau nanti tiba-tiba, Are, pingsan."

"Kalau dia pingsan, biar langsung kita bawa ke KUA, Alka ...."

Aku mendesah, Alka tertawa sementara bapak ceria. "Setuju seratus persen, Pak ... nanti, biar saya yang bantu kasih napas buatan supaya Are cepat siuman ...," kelakar Alka.

"Enak aja kau ... anak saya ini, harus dijaga kehormatannya ... dia adalah ratu di rumah ini ... jangan sampai, kau melukainya sedikitpun. Paham?" Bapak mengancam.

"Siap, mertua ...." Akhirnya, aku, Alka dan bapak, berdiri dengan pakaian yang sama. Kami seperti pasukan khusus, berpakaian serupa, bahkan gaya rambut Alka pun sama persis seperti gaya rambut bapak.

Aku tidak tahan dengan drama yang sedang mereka mainkan. Setelah bapak melepaskan tangannya, aku mencoba menghindar, tapi gagal. Bagaimana bisa, tali pinggangku berada di genggaman bapak?

"Kamu tidak bisa pergi, Are ...." Sambil memainkan tali pinggangku yang berada di genggamannya. Bapak terlihat nakal, kelakuannya persis seperti anak-anak.

"Pak, lepasin ...." Tentu saja, bapak tersenyum puas. Saat ini, aku serupa kuda peliharaannya, tidak bisa melawan apalagi menghindar. Ratu apanya? Bahkan, jika keisengan bapak sudah kumat, ia selalu saja memperlakukanku seperti mainannya.

"Rasanya seperti di pelaminan, Pak," ungkap Alka seraya memainkan matanya.

"Anggap saja sedang latihan, nanti kalau udah di pelaminan beneran, biar tidak gugup." Bapak semringah. "Jadi gak sabar nimang cucu," seloroh bapak.

Mendengar penuturan bapak sontak membekukan waktu, bulu kudukku bergidik bagai ada hantu. Alka? Tentu saja ia senang, bahkan kini tangannya sedang memeragakan cara menggendong bayi.

"Siapa yang latihan?" sela Ibu menyusul.

"Bapak, Bu," balasku sekadarnya.

"Maksudnya?"

"Bapak mau nikah lagi," ucapku dongkol. Bapak kaget dengan komentar yang kuberikan.

Sementara ibu dengan wajah memerah langsung menatap sangar ke arah bapak. Bapak tidak bisa mengelak, kecuali mencubit pinggangku. Saat ini, permainan telah berbalik.

Lelucon yang seharusnya disampaikan bapak padaku, malah berimbas padanya. Ibu menarik tangan bapak, kalau ibu sudah jengkel, maka siap-siap akan banyak hukuman yang menunggu bapak dan kini, bapak sedang disuruh membereskan piring kotor yang jumlahnya seabrek.

Bapak masih membujuk ibu. Aku tahu, ibu sedang tidak sungguh-sungguh mendiami bapak seperti itu. Begitulah ibu, ia selalu manja pada bapak. Ibu terlalu menyayangi bapak, ia terlalu takut jika bapak meninggalkannya.

"Kamu jail banget, Are ...," ujar Alka.

"Bapak aja yang nakalnya kelewatan." Masih memandang bapak.

"Bukan, Are ... kamu aja yang tingkahnya kebangetan."

"Kamu lagi dukung bapak? Mau aku adukan juga sama ibu?"

"Bapak kamu benar."

"Apa?"

"Ngomong kamu memang satu-satu, tapi langsung berhasil merusak keadaan."

"Alka!"

"Beneran, bapak sendiri yang ngomong gitu, lihat aja ibu dan bapak kamu sekarang."

"Bentar lagi, mereka juga akan baikan."

"Itu karena mereka saling menyayangi, Are," jawabnya. "Jadi, kalau kamu marah sama aku, kamu harus kayak gitu ...." Melirik bapak dan ibu.

"Kenapa gitu?"

"Yaaa ... biar akunya gak jadi ngambek," pungkasnya tersenyum, sementara aku hanya berusaha menahan senyum.

"Ngambek aja ...."

"Serius?"

"Mmmm."

"Gak jadi, ah."

"Kenapa?"

"Karena, aku menyukaimu ...." Dan ini adalah pengakuan kesekian darinya.

******

Hai hai, aku revisi Bab 1-5 dulu ya setelah ini ...

Selamat baca yang ada dulu kawan ...
Semoga baper .. 😂

Note. Boleh ambil kata-katanya, tapi jangan lupa tag. Garis Rasa ..
Kalian pasti tau, berpikir dan merasakan itu susah ..
See you .
Luv yu 😘😘

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang