PART 3 SKENARIO BARU (3.1)

1.2K 1.1K 204
                                    


Dulu aku pernah kau rasuki teramat dalam. Sekarang, biarkan aku yang merasukimu lewat pemilik hatimu. Skenario baru telah terbentuk, ada atau tidak adanya izin darimu, ini akan tetap berlangsung apa adanya.

Lewat percakapan demi percakapan yang aku habiskan bersama Aras, akhirnya berhasil membuka pikiranku. Tadi malam, aku telah meminta izin pada bunda, untung saja bunda merespons dengan sangat baik.

Ya, aku berhasil menyuruh ibu untuk menyusul ke sini, karena meninggalkannya seorang diri di sana bukanlah pilihan yang tepat. Aku tidak ingin, bila ibu merasa kesepian untuk kedua kalinya. Ibu sudah memberi tahu mengenai keberangkatannya, semoga saja ibu bisa sampai dengan selamat.

"Ibu kamu, sudah berangkat?" tanya bunda ketika kami sedang menyantap sarapan di meja makan.

"Udah, Bunda. Makasih, karena Bunda udah kasih izin buat saya dan ibu untuk nginap di sini," ucapku tulus.

"Santai aja, Are ... kami justru senang, karena rumah ini bakalan ramai lagi, jadi aku gak perlu nunggu Bunda lagi, kalau sewaktu-waktu Bunda pergi ngerumpi ...." Aras melirik bunda seperti sedang menyindir.

"Oh gitu, jadi Bunda gak dibutuhkan lagi nih?"

Aras memeluk bunda dengan erat. "Bunda, cantik kalau ngambek ...."

Bunda membalas pelukan Aras. Mereka berdua membuatku cemburu. "Cantikan ibunya, Are, Aras ...." Bunda tersenyum. "Bunda, hanya berharap, semoga saja cantik ibu kamu, sudah kembali, Are. Bunda, gak suka ketika lihat wajah ibu kamu waktu itu, senyumnya hilang seiring kepergian bapak kamu."

Aku mengangguk, mengiakan ucapan bunda. Bukan hanya ibu yang terpukul. Aku juga merasakan hal yang sama. Kepergian bapak yang sangat tiba-tiba, telah meruntuhkan segala duniaku. Menyisakan tangis yang tak bisa diterjemahkan.

"Aku sampai penasaran tau, Bun. Pasti cantiknya mengalahi wajah, Bunda?" kelakar Aras.

"Enak aja kamu, kalau ibunya Are nomor satu, Bunda kamu ini, nomor dua."

"Nomor dua paling terakhir, ha ha ha," balas Aras yang belum juga berhenti mengganggu bundanya.

Aku tertawa melihat bunda dan Aras, seperti dulu ketika aku tertawa melihat keluargaku yang lengkap. Aku ingin kembali ke masa itu -- mendekap erat tubuh orang-orang yang kusayang -- menghabiskan jatah bahagia bersama mereka. Namun, tidak bisa, karena maut sudah lebih dulu mencuri tawaku.

Suasana kembali hening. Bunda melepaskan pelukannya dari Aras. Mata bunda mengembara, seperti sedang merantau ke tempat lain.

"Are, mmmm ... maaf sebelumnya, tapi Bunda hanya ingin tau ...." Bunda masih tergugup dan aku menunggu. "Bukannya, Bunda lancang ... Bunda hanya penasaran mengenai kelanjutan investigasi kematian bapak kamu ...."

Aku buang napas dengan kasar -- lelah. "Ada yang bilang, karena balapan liar, Bunda," lirihku.

"Astaghfirullah ... balapan liar, serius?" tanya Aras tidak kalah terkejut.

Aku kembali tertunduk, meratapi nasi yang bergelimangan di piring. "Entahlah ... ibu selalu melarang untuk mencari tau lebih jauh."

"Ibu kamu itu seperti malaikat, Are," sela bunda kemudian. Tapi bukan itu yang aku rasakan, sifat kekeh ibu yang tidak memperbolehkanku untuk mencari tahu, justru membuatku bertanya-tanya, seperti ada sesuatu yang sedang disembunyikannya.

"Kamu harus kuat, Are. Begitulah, kehidupan,  semuanya seakan berjalan secara random. Kadang buat nangis, kadang buat ketawa, bahkan kita gak tahu apa yang terjadi esok, semuanya seperti teka-teki," pungkas Aras menyemangati.

Aku kembali mengangguk, hidup memang bagaikan pagi dan malam, ia akan berputar sepanjang hari. Terkadang, memberi cahaya, dan terkadang memberi gelap dan aku tidak punya kuasa untuk mengendalikannya atau berpartisipasi terhadap siklus yang berputar.

Barangkali detik ini, aku memang merasakan kehilangan yang teramat sangat terhadap sesuatu, maka satu detik selanjutnya siapa yang tahu? Bisa saja giliranku yang menghilang dan memberi luka untuk orang-orang di sekitarku.

"Kita berangkat sekarang?" tanya bunda menyudahi obrolan.

******

"Selamat pagi, Bunda," ucap pria di belakangku.
Aku menoleh.

"Pagi juga, Pura-pura lupa," balas Aras.

Aku abaikan sosok tersebut, memutuskan menatap pengendara jalanan yang hilir-mudik di depan perumahan. "Dasar, malah disambung," ucapnya jengkel.

"Ini masih pagi, Pura. Kalian itu tetanggaan tapi bawaanya adu mulut terus, pusing Bunda lihatnya," rutuk Bunda yang sudah berada di dalam mobil.

"Anak Bunda aja yang iseng," tutur Pura sambil memasukkan tangannya ke saku celana katun yang ia kenakan.

"Kamu aja yang bikin emosi," jawab Aras menjulurkan lidahnya. "Are, ayo masuk, jangan diladeni." Ketika aku masih berdiri di samping mobil.

"Oh, nama kamu, Are. Nama yang manis, semanis orangnya ...."

"Makasih, Pura ... baru tahu ya, kalau aku manis?" celetuk Aras. "Emang kamu sepet kayak pare."

"Bukan kamu, tapi wanita di depan kamu."

"Woi, modus," sanggah Aras. Aku memilih mengacuhkan mereka. "Are, jangan didengerin, anggap aja makhluk halus ...."

Aku berlalu, menuju bunda yang sudah menunggu. Tidak ada tempat untuk orang-orang seperti Pura. Menanggapinya sama saja seperti tertarik pada setiap ucapannya, dan aku benci ketika menyadari bahwa aku terlalu kaku, atau mungkin, akulah yang terlalu takut diseret lebih jauh?

*******

Hai, maaf yah atas keterlambatannya...
Anggap aja aku sedaang meditasi di gunung atau sejenak mencabut rumput di taman belakang.

Makasih buat yang baca.

Lanjut atau gak nih??

Natap langit dululah Ndak.. biar gak gila.

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang