PART 14 (14.4)

115 108 4
                                    

Aku berhenti di depan kantor, mengedarkan pandangan ke segala arah. Menetapa gedung yang hanya bisu tanpa suara. Sesekali alam bawah sadar berbicara, apa yang sebenarnya sedang kulakukan hingga merasa begitu lelah?

Padahal, hari-hari yang dihabiskan di sini, hanya memperparah luka yang sudah bernanah – tapi mengapa masih berharap ada yang berubah?

Saat ini, sudah tidak lagi memiliki pembenaran yang bisa dibenarkan. Alasan-alasan itu telah kehilangan pegangan, membuat apa-apa yang masih tersisa justru hancur berantakan. Sekarang, hanya ada dua pilihan, lupakan dan tinggalkan.   

“Are, aku mau ngomong,” celetuk Pura menghalangi pandanganku.

Aku acuh, menjauh. Namun, Pura belum luluh. “Apa lagi sekarang?” sergahku sambil menghentakkan kaki saat berada di anak tangga.

“Kasih aku waktu, aku bakalan jelasin semuanya – semua yang ingin kamu tau … semua tentang aku, tentang Alka, tentang sifat Alka, dan tentang apa pun yang buat kamu bertanya-tanya,” pintanya menyorotkan keputusasaan.

“Pura, aku yang salah ... seharusnya, sejak kamu bilang bahwa Alka adalah teman kamu, sejak saat itu aku sadar, kalau kamu udah tau semuanya – semua yang terjadi antara aku dan Alka … tapi aku terlalu bodoh buat sadar,” rutukku menyeringai.

Pura masih bertahan. Jemarinya bergerak acak sedangkan maniknya berputar ke mana-mana.

“Are, gak pernah sekalipun aku berniat mainin kamu, aku care sama kamu … aku mau jadi teman kamu dan selebihnya gak ada yang aku lebih-lebihkan.”

Aku mendesah. "Tapi kamu gak sadar kalau kebaikan kamu justru nyakitin aku, Pura! Kamu sama aja kayak Alka!"

Aku menahan gemuruh, mencoba normal pada situasi pelik yang menimpa.

“Pura, kamu tau ... semua  yang datang ke dalam hidup aku, rata-rata cuma singgah tanpa menetap, dan kalian semua silih-berganti kasih luka yang berbeda-beda seolah-olah aku lelucon yang kalian butuhkan di saat bosan."

Pura mengacak rambutnya dengan kasar. Aku pun sudah jenuh dengan semuanya. Pasalnya, ketika mulai percaya pada seseorang, maka saat itu juga justru kecewa yang didapat.

“Are ... Alka ngelakuin semua ini karena dia sayang sama kamu, dia gak mau nyakitin kamu."

“Diam! Kebaikan yang kalian maksud, sama sekali gak buat aku bahagia. Jadi, jangan seakan-akan paham apa yang terbaik buat aku.”

“Are," panggilnya mencegat langkahku.

“Pura, kamu bisa kayak Alka, pura-pura gak kenal dan anggap aku gak ada!"

Pura mendekatkan wajahnya – sedekat mendung terhadap hujan, setipis silet dengan luka, membuat terperangah.

“Apa sekarang kamu masih bilang, kalau aku bohong, kalau aku nipu kamu?” Pura menatap tegas. “Are, gak semua ucapan orang lain harus kamu makan tanpa disaring … dunia ini penuh sama alasan-alasan yang gak masuk akal. Jadi, berhenti membenarkan apa yang gak seharusnya kamu benarkan!"

“Terus, kamu pikir - kamu beda dari mereka, kamu lebih baik dari mereka, iya?!" Pura diam. Hanya memperlihatkan netra yang berkedut.

Aku simak binar yang disorotkannya, tapi ketika menyadari seseorang lewat, aku memutus tatapan itu – berpaling darinya.

“Asa,” panggilku. Asa mempercepat langkah, memaksaku berlari. “Asa, tunggu dulu.” Berdiri di depannya.

“Lo manggil gue?”

“Jangan salah paham sama apa yang kamu lihat tadi ….”

“Apa?” Memintaku mengulang.

“Tadi cuma salah paham,” ulangku.

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang