PART 4 (4.3)

1K 872 828
                                    

2 November 2017

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, sudah seharusnya aku pulang ke rumah. Lagi-lagi, aku harus menunda niatku untuk pulang, bukan karena keinginanku, tepatnya karena keinginan perusahaan. Akan ada acara peresmian gedung baru esok, sehingga harus menyita fokusku untuk mempersiapkan segalanya tepat waktu.

Perusahaan ini, berhasil membuka cabang ke limanya di kota ini, dan menuntut seluruh karyawan supaya dapat membuat perayaan yang gemilang. Segala surat-menyurat sudah diselesaikan dengan baik. Sekarang, aku harus menuntaskan semua pernak-pernik yang diperlukan. Aku urut bahu yang terasa pegal, sudah satu harian aku berkutat di depan komputer, bahkan untuk sekadar mengambil air minum pun, aku tak lagi sempat. Tidak ada jalan lain, selain memaksa mataku supaya tetap terjaga.

"Minum dulu," pintanya ketika aku mulai menguap tiada henti.

"Letak di sana aja, nanti aku minum." Tanpa memandang matanya.

Ia justru meletakkan gelas tersebut tepat di depan mataku, memaksaku untuk segera menuruti permintaannya. "Minumlah," paksanya. "Sejak tadi kamu belum ada minum, Are, kamu bisa dehidrasi."

"Alka, jauhkan gelasnya, aku gak bisa lihat apa yang aku tulis," rutukku, ketika gelas tersebut masih berada di depanku.

"Kamu mau minum ini, atau kabel komputernya aku cabut?"

"Al ...."

"Mau minum atau komputernya aku cabut?" ulangnya. Tidak ada pilihan, aku ambil gelas tersebut, dan meminumnya hingga tandas. Ini aku lakukan supaya ia bisa pergi dari hadapanku, dan Alka tidak pernah main-main dengan pilihan yang diberikannya.

"Udah, aku minum ... sekarang, bisa kamu jauhkan gelasnya?" Alka tersenyum puas -- lagi-lagi, aku kalah oleh sifat pemaksanya.

Dulu, ketika aku baru mengenalnya, dia pernah datang ke rumahku. Waktu itu, ia mengajakku untuk menghadiri pesta ulang tahun pak Ilo. Kebetulan hari itu, aku tidak mau datang. Alka, memberikan dua pilihan, datang ke pesta syukuran dengannya, atau sama-sama tidak datang ke acara tersebut, dan aku justru mengabaikan permintaannya.

Keesokan harinya, aku mendengar kabar bahwa Alka diceramahi habis-habisan oleh pak Ilo karena acara yang diadakan oleh pak Ilo bukan hanya sekadar perayaan syukuran biasa, melainkan acara pemberian penghargaan untuk karyawan terbaik. Alka, adalah karyawan yang seharusnya mendapat predikat tersebut, tapi justru ia tidak datang.

"Are ...."

Aku mendesah. Alka membuatku kehilangan waktu. "Apa lagi?"

"Obat kamu mana?" selidiknya ketika hendak melanjutkan ketikanku.

"Udah aku minum," jawabku, dan kembali melanjutkan pekerjaanku. Alka meraih tas sandang yang kukenakan, mengambil bungkusan obat dari dalamnya.

Beberapa hari yang lalu, aku memang jatuh sakit. Kata dokter, aku terlalu memaksakan diri, sehingga tubuhku mulai menolak ketika diajak bekerja sedikit lebih keras dari biasanya. Ia mulai menghitung jumlah obat yang tersisa, jika begini aku akan ketahuan telah membohongi dirinya.

"Kamu bohong, Are, obat kamu masih utuh, belum berkurang, terakhir kali aku nyuruh kamu minum obat tadi siang, dan sekarang kamu belum menyentuhnya sama sekali."

"Alka, kalau aku minum obatnya sekarang, yang ada aku ngantuk."

"Itu lebih baik, ketimbang kamu menyiksa diri kamu."

"Ini deadline-nya besok, dan aku gak mau kalau pak Ilo sampai kecewa." Pak Ilo, atasan kami sekaligus penanggung jawab acara.

"Bapak bisa marah, kalau kamu egois dengan tubuh kamu sendiri."

"Sedikit lagi, oke." Alka menarik kursiku, membuatku tidak bisa melanjutkan ketikanku. Aku kalah dengan sifatnya yang sulit untuk dibantah. Alka bukan tipe pria yang main-main dengan tindakannya, itulah yang menjadikannya idola di mata bapak dan ibu.

"Alka, jangan membuatku begadang semalaman ... nanti, setelah tugas ini selesai, akan aku minum obatnya ...."

Alka bergeming, ia pasti tidak setuju dengan ideku. "Minum atau lampu kantor aku matikan?" ancamnya.

"Alka, please?"

"Are, aku hanya gak mau lihat kamu sakit ... ya, orang lain gak akan tau seberapa keras kamu nyelesaiin tugas-tugas ini ... tapi aku? Aku tau betul, bagaimana kamu mengorbankan dirimu sendiri demi tugas-tugas ini. Jadi, please nurut sama aku ...."

"Al ...."

"Ini perintah bukan penawaran, Are ... jangan lupa, aku atasan kamu di sini. .. jadi sekarang, minum obat kamu atau aku pecat?"

Alka selalu begitu, memberiku pilihan-pilihan sesukanya -- ada apa dengannya? Mengapa ia selalu kekeh membobol ruang-ruang yang kusembunyikan? Ia siapa? Bukankah, ia hanya orang lain untukku? Mengapa ia seperti mengenal diriku luar dan dalam ??? Mengapa ia merusak sel-sel kesadaranku? Ia kejam -- perhatiannya bisa membuatku babak belur, hancur. Tentu saja, aku takut goyah di depannya.

"Udah, aku minum." Setelah menenggak beberapa pil yang diberikannya.

Alka semakin menjauhkanku -- mendorong kursiku hingga jauh dari komputer. Ia justru mengambil alih posisiku, duduk di depan komputer, menggantikan sosokku. "Kerja itu boleh, tapi sewajarnya, bukan seenaknya." Sambil melajukan tangannya di atas keyboard. "Istirahatlah, biar aku yang lanjutkan."

Jika hadirmu hanya untuk singgah, bukankah sebaiknya kau berhenti di sini, Alka? lirihku sebelum mataku benar-benar terpejam akibat obat yang barusan kuminum.

******

Untuk kamu yang baca, "Terima kasih, jika kamu sudah sampai pada bab ini." 🌷🌷

Jangan lupa, sharenya yah ..
Tangan kalianlah yang membantu cerita ini bisa dikenal banyak orang..
Happy 7 K ..
And thanks gengs .. ❤️
I love you for you ..

Ah ya cuma mau bilang, cerita ini belum end yah ..
Stay terus Part 5 😂

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang