PART 15 (AKASIA)

122 108 4
                                    

"Aku bisa jadi apa pun yang kau inginkan, tapi naasnya bukan seseorang yang kau butuhkan."

Artikel yang sedang dikerjakan akan masuk beberapa list artikel terakhirku di sini. Ya, hanya ini yang bisa dilakukan. Jujur, batasan itu telah sampai pada tahap pengakhiran. Tidak bisa lagi diselesaikan ataupun diulang, hanya bisa diserahkan tanpa melakukan paksaan.

Sudah terlalu jenuh, kehilangan arah, kehabisan pertahanan untuk sejenak melihat mana yang layak dipertahankan, mana yang tidak. Mungkin memang begitu, seorang manusia tidak akan sadar sebelum ia melakukan dan merasakannya sendiri. Sudahlah. Biarkan apa yang seharusnya lepas, terlepas dengan ikhlas.

"Are, lo dipanggil pak Bugo," sela Sela ketika aku masih menyusun berkas kerja di meja.

"Sekarang?" tanyaku memastikan.

Sela menyilangkan tangan. "Gak, tahun depan," ketusnya. Ia dan Jeli memang benar-benar mirip.

Tanpa mendengar lebih lanjut, aku tinggalkan pekerjaan dan berjalan enggan ke ruangan pak Bugo. Entah apa yang ingin dibahasnya, semoga bukan sesuatu yang menyulitkan.

"Are, kontrak kerja kamu akan berakhir minggu ini, jadi saya mau mengajukan beberapa penawaran untuk kamu," jelasnya saat aku telah terduduk rapi di depannya.

Aku menyimak cermat. "Penawaran tentang apa, Pak?"

Pak Bugo melepaskan kaca matanya, membuka sampul berwarna putih.

"Mengenai kontrak kerja kamu," balasnya lekat menatap kertas itu. "Jadi, selama kamu bekerja di sini, saya melihat kinerja kamu cukup bagus. Meskipun kamu belum berpengalaman di bidang artikel, tapi hampir setiap artikel yang kamu tulis terlihat sangat menjual." Aku masih mendengar. "Karena itu, saya ingin merekomendasikan perpanjangan kontrak, bagaimana?"

Pertanyaan itu terlalu mendadak, membuat tercekat. Aku tidak menyangka bila semua angan-angan itu menjadi nyata, tapi mengapa sekarang? Mengapa ketika aku telah memutuskan untuk enyah?

"Are ... bagaimana? Kamu bersedia perpanjangan kontrak?" desaknya saat aku bungkam.

Aku meneguk saliva, meremas jemari, menunduk. "Sebelumnya saya berterima kasih, Pak, saya bersyukur karena kinerja saya sangat dihargai di perusahaan ini - tapi maaf, Pak, untuk perpanjangan kontrak ... saya tidak bisa menerimanya," jelasku pelan - se-pelan udara yang sedang dihirup.

Pak Bugo bersandar, menatap tajam. "Kamu serius dengan ucapan kamu barusan? Baru kali ini ada karyawan yang menolak perpanjangan kontrak di sini, biasanya mereka selalu memohon dikasih kesempatan, tapi kamu malah menyia-nyiakannya," ujarnya penuh penekanan.

Tidak ada sanggahan, kehabisan pembelaan. Ia bener, ini jawaban paling keterlaluan. Namun, memang inilah yang harus dilakukan.

"Saya minta maaf, Pak, tapi ini adalah keputusan saya."

Pak Bugo mengangguk, memutar-mutar mulutnya. Sebelum akhirnya, ia duduk tegak.

"Oke, saya terima keputusan kamu, Are."

Aku mendesah, entah untuk apa. Tetap saja, ini keputusan paling menguras tenaga.

"Baik, Pak, saya permisi kalau begitu," balasku tanpa panjang lebar, berjalan lunglai.

******

Sore ini, semua karyawan diundang dalam acara pelantikan kepala direksi yang baru, sekaligus pemberian penghargaan kepada karyawan terbaik.

Acara pelantikan diadakan di sebuah hotel mewah yang terletak di tengah-tengah pusat kota. Tempatnya tidak jauh dari kantorku. Sebenarnya, terlalu malas mengikuti acara tersebut. Namun, apa boleh buat, Asa yang sejak tadi membujuk dan memaksa berhasil meluluhkanku - setuju tanpa perlawanan.

"Lo gak masuk?" Ketika kami berdiri di depan pintu masuk.

Aku melirik jauh ke pintu keluar. "Kamu duluan aja ...," ujarku ragu.

Asa menyipitkan mata seolah menyelidik. "Lo gak mau kabur, kan?" tukasnya.

"Gak, kok ...." balasku menepuk bahunya.

"Are, kamu gak masuk?" Kali ini, Puralah yang menyela.

"Bukan urusan kamu," ketusku.

Asa berjalan ke dalam gedung, meninggalkanku dan Pura yang masih berdiri di pintu masuk.

"Are ...."

"Pura, stop ... Asa ada di sini dan aku gak mau dia salah paham sama aku."

Pura menyentak mulutnya, tidak berkomentar. Ia langsung membeku mendengar pernyataan yang barusan kututurkan. Baguslah. Setidaknya, kepala yang penuh, tidak bisa lagi disuguhi pilu, selain dibiarkan sembuh tanpa diganggu.

"Are, sebentar." Aku terus menjauh, membiarkannya berteriak seperti hilang akal. "Are, aku bilang, tunggu!" Pura mengejar. Ya, Pura tetaplah Pura - pria paling gigih yang membuat kesabaranku naik-turun.

Aku terpaksa berhenti, malu dilihat karyawan yang sedang berlalu di kanan-kiri.

"Apa lagi?" tanyaku menyentak kaki. "Apa lagi, Pura? Kau mau bilang apa lagi?!"

"Kenapa kamu tolak tawaran dari pak Bugo?"

Pupilku membesar - menghunus tajam. "Apa pak Bugo yang ngasih tau?"

"Jawab aja pertanyaanku."

"Pura, ini yang terbaik, aku gak bisa bertahan lebih lama di sana."

"Tapi Alka bilang, kamu udah lama ingin jadi jurnalis ... jadi, kenapa kamu tolak?"

Aku hirup udara di sekitar. Memutar manik. "Pura, Alka sendiri yang buat aku terpaksa melepaskan tawaran itu ... dia yang buat aku benci sama mimpi itu, dia alasannya - jadi lebih baik, kamu tanya sama dia bukan sama aku!"

"Kamu nyerah gitu aja?" ulangnya sarkas. "Kamu mundur sebelum sampai ke garis finish? Kalau gitu, kenapa kamu datang ke sini? Kenapa kamu bertahan sejauh ini, kenapa gak langsung pergi?"

Aku tertohok. Kehilangan jawaban. Tertampar oleh tiap kata yang dijeritkannya.

"Are, dengar ... mungkin awalnya, ini kesalahan Alka, tapi sekarang - ini jadi kesalahan kamu. Karena apa? Karena kamu sendiri yang milih pergi sebelum kamu tau alasan kenapa dia melakukan semua kebodohan ini."

Aku tantang Pura dengan sorot paling bengis. Kesal, karena ia sok tahu.

"Pura, asal kamu tau - aku gak nyerah ... aku hanya berhenti, aku kalah setelah berjuang, bukan mundur sebelum bertarung - karena aku tau usaha ini gak bisa lagi dilanjutkan, ini adalah akhirnya ... gak ada lagi garis finis lain untuk aku dan Alka - sejak awal, aku dan dia emang udah usai, dan itu terjadi sebelum aku datang ke sini."

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang