PART 16 (16.2)

93 64 10
                                    

Aku berada di kursi tunggu rumah sakit. Menemani bunda yang masih terlelap.

“Kamu sudah sampai, Are?” tanya bunda sambil mengucek matanya pelan.

“Tidur aja, Bun ... Aras, biar aku yang jaga.”

“Bunda, sudah tidur sejak tadi, kau juga harus istirahat,” pinta Bunda sambil memperbaiki posisi duduk.

“Tidak apa, Bun. Aku belum ngantuk,” balasku tersenyum.

Sesekali bunda menguap, lalu menyilangkan kedua kakinya.

“Are, kenapa tidak tinggal di sini saja, Nak?” celetuk bunda tiba-tiba.

Sungguh, pertanyaan bunda membuat lidahku kelu. Tidak memiliki jawaban sama sekali, buntu.

“Kamu sudah makan, Lit?” sela Ibu seraya menjinjing plastik putih.

Syukurlah ibu datang tepat waktu. “Belum, Dit ... kamu bawa makanan?” tanya bunda dengan mata berbinar. Ibu mengangkat kantong yang berada di genggamannya, membuat bunda tertawa cerah. “Kamu memang terbaik, tau aja kalau aku sedang lapar ….” 

“Makanya, jangan tidur terus … tubuh kamu bisa kembang,” ledek ibu, membuatku tersenyum tipis.

Jujur, melihat kedekatan mereka, membuatku begitu terharu. Mereka berdua saling memedulikan dengan caranya. Ibu yang cuek tapi lembut di dalam, dan bunda yang tegas tapi begitu halus di dalam. Mereka berdua memang saling melengkapi. 

“Ibu, aku ke dalam dulu,” potongku di saat bunda dan ibu saling adu argumen.

“Kamu gak makan dulu?” celetuk bunda menimpali.

"Aku udah makan, Bun .... Bunda sama Ibu, lanjut aja makannya.”

“Kamu pasti bohong - makan dulu, biar Bunda suapin,” cetus bunda menahan.

Belum sempat membantah, bunda sudah lebih dulu menyuguhkan makanan ke mulutku, mau tidak mau, aku terpaksa menelannya. 

“Kalau Bunda sudah maksa, kamu gak akan bisa nolak, Are,” tutur ibu.

“Iya, dong, kamu dan Are sama saja ... sama-sama harus dipaksa kalau mau makan,” sindir bunda cemberut.

Aku habiskan malam ini bersama bunda dan ibu. Berada di tengah-tengah mereka berdua adalah hal yang akan aku rindukan sampai kapan pun.


******

Aku menyusul Aras ke ruangannya. Ia sedang sibuk bermain remote TV. Kadang, matanya menyipit. Kadang juga, ia merungut. Ekspresinya membuatku pangling.

“Hei,” sapanya melihat kedatanganku.

Aku tersenyum, sambil mendekat ke arahnya.

"Hai juga Aras," balasku.

“Aku kangen, Are,” teriaknya lugas dan langsung menghentikan aktivitas menontonnya.

“Kenapa dimatiin TV-nya?” tanyaku.

“Karena udah ada kamu di sini ….”

Aku terkekeh pelan – duduk di sampingnya. “Kondisi kamu gimana?”

Aras merentangkan kedua tangannya, seakan tengah meregangkan otot-ototnya yang kaku.

“Seperti yang kamu lihat, aku sangat-sangat sehat.” Aku mengangguk. Ia selalu berhasil mengenyahkan semua kekhawatiran yang sedang menguasai. “Bunda, di luar?”

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang