PART 11 (11.2)

140 133 7
                                    

Bertarung dengan artikel telah menjadi teman setia. Setiap kali memfokuskan diri dalam merangkai kata atau setidaknya menghirup aroma kertas dari mesin percetakan, entah mengapa selalu berhasil memberi ketenangan.

“Are, lo di suruh ke ruangan, Pura,” sahut Sela.

“Aku? Kenapa?”

“Nurut aja, lo banyak nanya, ya …,” rutuknya.

Di dalam ruangan Pura, bukan hanya ada dirinya, tapi Alka juga berada di sana. Aku abaikan kehadirannya dan hanya melirik ke arah Pura.

“Ambil.” Pura menyerahkan secarik kertas. 

“Ini apa?”

“Surat izin, hari ini kamu bisa libur,” ujarnya.

Netraku menoleh pada Alka. Sontak, aku langsung menolak surat izin tersebut.

“Aku masih sanggup, Pura ... surat ini kamu simpan aja.” Mendorong kembali kertas tersebut.

“Kau bisa pingsan, Are? Wajahmu pucat sekali,” bujuk Pura menggoyahkan.

“Ini tubuhku, kamu gak perlu khawatir," sanggahku.

“Biarin aja, Pura, percuma dilarang … wanita keras kepala kayak dia emang selalu merepotkan semua orang …,” sergah Alka berlalu dari ruangan Pura.

Aku mengatupkan bibir, menahan emosi yang mau meledak. Namun, tidak bisa, karena aku mencintainya. Lagi pula, tampaknya Pura belum tahu mengenaiku dan Alka. Memaki Alka di sini, sama saja membongkar masa laluku.

“Aku permisi, Pura.”

“Are, tunggu dulu ….” Aku mengabaikan Pura, memilih kembali ke meja.

Aku ambil segelas air putih, menenggaknya hingga tandas. Bukan hanya fisik yang lelah, tapi pikiran yang sulit dikendalikan.

“Tolong edit artikel gue,” pinta Jeli menyerahkan artikel. Aku ambil artikel tersebut dan mulai memeriksanya. “Biasanya, setiap kali gue nyuruh lo selalu ada pertanyaan lebih dulu, tapi akhir-akhir ini kenapa lo main terima aja?”

“Gak ada apa-apa,” elakku sembari menggenggam stabilo di tangan.

“Are, artikel gue juga,” pinta Sela kemudian.

******


Di penghujung menjelang magrib, semua pekerjaan selesai. Aku meregangkan otot, meringankan denyut di kepala yang semakin terasa hebat.

“Minum.” Asa menyodorkan sebotol minuman. “Tubuh lo butuh asupan energi … lo harus ingat, pekerjaan kita bukan hanya nguras fisik, tapi juga nguras mental. So, kalau lo ingin berumur panjang sebaiknya lo bersikap baik sama tubuh lo mulai hari ini, Are.”

Aku tersenyum, meraih minuman vitamin yang diberikannya. “Makasih, Asa.”

“Lucu, ya, wanita selalu aja menyibukkan diri untuk menutupi perasaannya,” tuturnya menerawang jauh.

Aku menatapnya, matanya tampak sangat kosong. Asa yang terlihat saat ini, bukan Asa si penggila kerja, melainkan Asa yang sama sepertiku, sepi dan sunyi.

Hanya ada kami berdua di dalam kantor, membuat percakapan ini semakin menjurus lebih dalam.

“Mungkin, karena kita makhluk pemendam, Asa.” Memandang langit yang mulai berubah warna.

“Bukan pemendam, Are, wanita kayak kita terlalu takut terluka ... kita terlalu banyak mikir, padahal bukan itu yang hati kita inginkan.”

Asa benar. Dua setengah tahun yang lalu, aku takut Alka akan melukaiku, seperti masa lalu yang menjahatiku. Aku mengabaikannya karena ragu yang begitu menggunung. Alka pun punya batas ketahanan, tapi aku selalu menahannya, menyuruh menunggu – tidak sekalipun memberinya kesempatan untuk mencoba dan inilah akhirnya, akhir yang akan disesali seumur hidup.

“Asa, apa ada orang yang kamu percayai?” tukasku.

Asa memperbaiki posisi berdiri, mengikat rambutnya dengan karet gelang yang diambilnya dari mejaku. Kening kecilnya terlihat lebih jelas, poni yang biasa menutupi jidatnya telah terikat dengan sempurna.

“Gue gak punya teman atau sahabat, Are. Bagi gue, mempercayai orang lain, sama aja kayak melukai diri gue dengan sengaja ... manusia itu banyak topengnya, dan gue gak mau repot-repot buang waktu cuma untuk mengenali watak manusia yang beragam.”

Sorot maniknya seolah tidak berada di sini denganku, tampak menjelajah ke tempat yang tidak aku ketahui.

“Satu orang pun?”

“Yups, satu orang pun.”

“Kamu bisa bertahan?”

“Gak,” balasnya terkekeh. “Sulit bertahan tanpa ada siapa pun di samping kita, Are. Gue bahkan pernah lakuin hal ekstrem gara-gara depresi,” ungkapnya santai.

Asa mengangkat tangan kirinya, melepas syal tipis yang melingkar dan memperlihatkan bekas sayatan memenuhi pergelangan tangannya.

Aku menutup mulut, terperangah – tidak menyangka bahwa syal yang selalu dililitkannya hanya untuk menutupi jejak masa lalunya. 

"Setiap kali gue lihat ini, gue sadar betapa besar keinginan gue dulu buat melarikan diri, Are. Pengecut banget, kan gue?" Ia terkekeh.

Aku kehabisan kata-kata, terbungkam begitu saja. Ternyata masa kelam yang dimilikinya hampir sama dengan masa kelam yang menyelimutiku. Bedanya, aku tidak pernah berniat mengakhiri hidupku. Bagiku, itu bukan solusi ataupun jawaban, itu sama seperti pelarian ketika kalah oleh keadaan.

“Tapi kamu berhasil … buktinya, kamu bertahan dan memutuskan bertanggung jawab sampai hari ini," gumamku.

Asa menyeringai lantas menoleh ke luar jendela, melirik gelap yang berkunjung.

“Belum sepenuhnya, Ar, karena sampai hari ini gue masih bertarung dengan semua itu,” lirihnya pilu.

“Apa yang buat kamu kembali, Asa?”

“Maksud lo, kenapa gue gak jadi dead gitu?” Aku mengangguk, menunggunya melanjutkan. “Karena gue masih dikasih kesempatan buat hidup … andai dulu, dia gak datang tepat waktu, gue udah lenyap, Are … jujur, waktu ngebayangin hampir mati, gue takut banget – gue pikir, gak bakalan ketemu lagi sama dia, tapi ternyata salah – gue masih bernapas dan sejak saat itu, gue bertekad buat hidup selama mungkin."

“Apa orang itu, Pura?” tukasku tanpa sadar. Tidak seharusnya aku mengucapkan nama itu di saat seperti ini, bukan?

Asa terbatuk, persis yang dilakukan Pura saat itu. Ekspresi wajah mereka sama, sama-sama saling terluka.

“Kenapa harus dia?” tanyanya sinis.

“Maaf, aku hanya sembarang ngomong.”

Sedetik kemudian, Asa tersenyum. “Pura, cuma masa lalu, Are ... cuma kenangan yang sampai kapan pun cukup jadi kenangan,” lirihnya dengan suara bergetar.

Kalau begini aku paham, sikap canggung yang mereka tunjukkan selama ini seperti pertahanan diri antar satu sama lain. Tidak banyak kejujuran yang mereka pertontonkan, hanya ada kebisuan dan pengalihan terhadap perasaan mereka masing-masing.

Duduk bersama seseorang dengan masa lalu yang sama, berhasil menyadarkanku bahwa bukan aku saja yang memiliki kisah seperti ini, melainkan ada wanita yang juga sama sepertiku.

Kami hanya korban dari keraguan, memilih menikmati malam seorang diri bahkan ketika ada seseorang yang datang tanpa pamrih, kami justru mengusir dan berdalih bahwa itu hanya beban yang harus dihindari.

******

Selamat berjalan-jalan di terowongan Are ..
Luv ♥️

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang