PART 13 (13.2)

111 120 7
                                    

Awan gelap telah mengambil alih – menutup matahari yang sedang berpose di ufuk timur. Langit yang semula terang menjelma hamparan black hole yang tidak berpusat, sementara getaran petir menjadi musik pengiring yang memekakkan keheningan.

Suasana sendu ini tidak menyenangkan untuk dihayati, tidak seru untuk dilakoni oleh dua manusia yang saling membenci. Namun, tidak bisa menjauh, sebab semesta selalu punya cara untuk menahan agar tidak keluar dari parameter yang telah ditentukan.  

Semakin hari, bukannya semakin lupa justru semakin muak karena terus merindukannya. Sudah tidak ada gunanya menjauh, garis rasaku telah terhubung begitu kuat dengannya. Terlalu sulit memutus sekalipun menginginkannya.

“Pura, barusan chat … katanya ada urusan mendadak, jadi dia pulang duluan.”

Kalimat pertama yang diucapkannya sejak Pura pergi.

"Seharusnya dia bilang dari awal, biar aku gak perlu buang waktu di sini," rutukku.

“Biar aku antar kamu pulang," selanya tiba-tiba.

“Gak usah. Aku bisa sendiri.”

“Hari mau hujan Are, biar aku antar,” paksanya.

Aku tidak mengerti jalan pikiran Alka. Ia selalu saja berkilah, tapi di saat bersamaan ia seperti mengatakan kalau perasaannya masih ada.
Setahuku, Alka bukan penderita bipolar, tapi mengapa tindakannya se-labil ini?

“Aku bisa naik ojek atau angkutan umum. Pulanglah, sebelum hujannya semakin deras,” kataku mengingatkan.

“Gak usah keras kepala,” ujarnya geram.

Gerimis menajam, membuatku dan Alka kembali menepi bahkan semesta pun seakan enggan membiarkanku berlalu.

“Alka, aku yang keras kepala atau kamu yang masih cinta?" gerutuku.

"Aku cuma merasa bersalah sama kamu."

Aku mendesah, lebih pilu dari tetesan yang tumpah.

"Bersalah? Sebesar apa rasa bersalah kamu, apa cukup untuk buat kamu kembali sama aku?"

Jujur, aku semakin jenuh menghadapi sifatnya. Apa susahnya untuk mengakui perasaannya? Ia tidak perlu menghajarku dengan seluruh perhatian yang diberikannya. Bukankah kami sudah sama-sama tersiksa saat ini?

"Kalau gak, jangan buat ini lebih sulit. Aku udah cukup kerepotan dengan rasa benci ini, jadi kamu gak perlu berlagak sebagai orang paling terluka."

Rintikan air telah berteleportasi menjadi ratapan menyebalkan. Membilas ngilu yang masih bersemayam - melahirkan tentang sebuah kehilangan yang mengenaskan.

“Maaf, Are,” lirihnya tiba-tiba.

Permintaan maaf pertama yang diucapkannya sejak aku berada di kota ini. Maaf yang dikira tidak akan pernah meluncur dari mulutnya.

“Maaf, untuk apa?" sergahku. "Untuk makian yang kamu kasih atau untuk main-main dengan perasaanku?”

Alka tidak bereaksi. Ia membeku, hening bagai menakar kalimat yang ingin diucapkannya, membiarkan hujan menjawab pertanyaanku.

“Untuk semuanya … semua hal yang gak bisa aku ceritakan dan semua hal yang akan buat kamu semakin benci sama aku,” ungkapnya setelah diam cukup lama.

“Benci? Lebih dari itu."

Alka membeku. Ia menatap dalam, menusuk lewat binar paling layu. Sungguh, aku ingin terjun bebas dalam netranya meski itu akan membunuhku. 

Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan, Alka? 

“Aku juga kesulitan, Are, sangat-sangat kesulitan.” Masih belum berpaling dari manikku.
“Aku bahkan gak tau lagi harus gimana," lirihnya. 

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang