PART 12 (12.2)

123 130 10
                                    

Alka sudah berdiri di depan proyektor. Sebagai ketua tim pemasaran, ia terlihat begitu terampil dalam memimpin rapat sore ini. 

Meskipun sedikit terlambat, tetap saja kedatanganku tidak membuatnya goyah. Ia terlalu lihai perihal abai-mengabaikan.

"Lo dari mana?" bisik Asa saat aku duduk di belakangnya.

"Tadi masih ada kerjaan," jawabku.

Asa mengangguk, tidak lagi melanjutkan. Aku dan ia sama-sama menyimak Alka yang sedang menjelaskan mengenai kurva penjualan yang mengalami penurunan.

Alka menguraikan sebab-akibat dengan memperlihatkan kurva yang merosot. Aku ingin memberi perhatian lebih pada rapat sore ini, tapi terlalu sulit. Sejak tadi, denyut di kepala semakin terasa, membuat fokusku terbagi ke mana-mana.

"Jadi, gimana solusi kalian?" Alka mengakhiri penjelasannya dengan meminta saran.

“Saingan semakin banyak, Alka,” potong Sela ketika sesi tanya-jawab dibuka.

“Saingan itu selalu ada … semestinya itu menjadi tolak ukur untuk membentuk kinerja yang lebih baik, bukan merosot seperti ini,” balas Alka meninggi.

“Mungkin karena orang-orang lebih suka baca berita online.” Sela menyela.

“Jangan cari-cari alasan … kamu lupa, perusahaan kita juga punya website dan  platform yang bisa diakses siapa aja?"

“Mungkin karena peminat baca yang udah berkurang,” tutur karyawan berikutnya.

“Mungkin juga, karena kualitas artikel kita yang menurun,” timpal yang lainnya.

"Mungkin - mungkin - mungkin!" Alka menghentak meja. “Di rapat ini, kita sedang mencari solusi bukan alasan! Saya tidak butuh alasan kalian semua, yang terpenting bagaimana cara kita bisa meningkatkan penjualan … itu PR untuk kita semua,” jelasnya penuh penekanan.

“Alka, gimana kalau kita ngadain give away?” usul Asa kemudian.

Give away?” tanya Alka balik.

“Yups, kita kasih kuis ringan gitu, sekaligus sebagai cara untuk mengenalkan tema minggu depan … so, kalau ada yang berhasil, bukan hanya dapat majalah atau koran dari perusahaan kita, tapi juga dapat hadiah lain. Kita semua punya sosial media, kan? Jadi masing-masing lakuin promosi di situ. Biasanya lebih cepat menyebar. Come on, ini zaman modern, seharusnya kita bisa ikutin alur, bukannya melawan alur.”

Give away? Kuno banget lo, As …,” cibir Sela menolak ide yang disampaikan Asa.

“Gue yang kuno atau lo, Sela? Ah ya, atau Jeli, majikan lo itu?”

Stop! Ini rapat bukan acara tinju ….” Alka menghentikan Jeli dan Sela. “Oke, sejauh ini ide Asa adalah solusi terbaik, jadi masing-masing dari kalian, wajib buat rules yang menarik. Ingat, saya tidak butuh alasan, jadi silakan bekerja sebaik-baiknya.”

Tidak ada lagi bantahan, semua orang telah mencapai kesepakatan. Alka menutup rapat.

******

Semua orang masih berada di dalam ruang rapat. Berbincang mengenai kelanjutan give away yang akan berlangsung. Aku memutuskan keluar lebih dulu karena denyut di area kepala terasa lebih kuat dari sebelumnya, sedangkan nyeri di hidung semakin menjadi-jadi. Pandanganku buram, sementara pusing menjalar secara liar.

“Are, hidung lo berdarah,” kata Asa setelah melihatku berjalan.

Aku tersentak – menyentuh hidung dan melihat darah segar mengucur begitu saja. Aku mendongakkan kepala, berlari menuju kamar mandi, mengabaikan tatapan orang-orang yang melirik, termasuk Alka yang juga melihat.

Aku bersihkan darah yang keluar, menyumbatnya dengan tisu toilet. Mimisan kali ini anggap saja sebagai hukuman karena telah menyakiti tubuhku terus-menerus.

“Ini cara kamu balas dendam? ….” Alka berdiri di samping toilet.

Aku amati wajahnya. Astaga, aku sangat merindukan tatapan khawatir yang sedang diberikannya saat ini - tatapan yang tidak pernah lagi aku temui dari dirinya.

“Alka, apa kau khawatir?" sungutku begitu saja setelah berdiri di sampingnya.

Bibirnya berkedut. "Aku cuma gak suka punya karyawan merepotkan kayak kamu."

Aku menyeringai. "Kamu bisa mengabaikanku seperti biasanya … itu, kan, yang kamu mau?”

“Pergi dari sini, itu caranya biar aku berhenti peduli,” ungkapnya tegas.

"Peduli? Omong kosong! Kamu lupa, kita udah selesai? Seharusnya gak perlu saling usik lagi, kan? Ah, atau kamu masih cinta sama aku?" sergahku.

Alka melonggarkan dasi yang dikenakannya. "Are, bicara sama kamu, emang gak ada solusi."

Aku meremehkan ucapannya, memandang kesal. “Anggap aku gak ada, Alka. Jangan hiraukan aku sama sekali. Apa pun yang aku kerjakan, apa pun yang aku sibukkan, jangan pernah ikut campur.”

Tanpa izin, ia menarik tanganku, keluar dari kantor. “Lepas!” bentakku. "Aku bilang, lepas! ….”

Aku masih mengguncang-guncangkan tangannya, mencoba melepaskan cengkeramannya, tapi pegangan Alka terlalu kuat.

“Aku bisa mengabaikanmu, tapi aku gak bisa biarin kamu nyiksa tubuh kamu kayak orang bodoh ….” Ia menghentak tanganku ketika tiba di parkiran.

“Gak usah plin-plan, Alka … kalau emang mau dibenci, seharusnya bertingkahlah sebagai seseorang yang pantas dibenci, jangan berubah-ubah. Kau membuatku bingung!”

“Susah kali buat kamu ngerti, Are …,” tuturnya melunak.

“Gak ada yang harus aku ngertiin. Aku capek selalu kamu suruh buat ngerti, sementara kamu gak pernah bilang, apa yang harus aku ngertiin.”

Alka mengusap wajahnya – memandang ke arah lain, itu cara yang selalu dilakukannya ketika menyerah menyikapi apa pun yang berada di luar kendalinya.

“Kamu terlalu keras kepala …,” ulangnya sembari  mengacak rambutnya, frustrasi.

“Bukan aku yang keras kepala … tapi kamu, Alka – kau yang membuatku gak bisa memahami apa pun. Kau yang membuatku kesulitan memahami segala hal yang sedang terjadi. Bapak, Alka? Semudah itu, kau melupakan ucapanmu dulu?”

Alka tegang laiknya sedang tersengat sesuatu yang mengejutkan. Ada yang tidak beres. Mengapa setiap mendengar nama bapak, ia tidak tenang, gusar dan gelisah? Ia tampak tidak nyaman. Ada apa sebenarnya?

“Ucapan apa?” selanya setelah menormalkan air wajahnya. “Aku gak ingat apa pun,” sangkalnya.

Aku menahan amarah yang mendidih, membiarkan makian mengambil alih suasana.

"Kenapa kau harus berubah seperti ini, Alka?” Suaraku bergetar. 

“Biar aku antar pulang, masuklah,” elaknya menyuruh masuk ke mobilnya.

“Jawab!”

“Perasaanku untukmu, gak akan mengubah apa pun yang udah terjadi, Are.”

“Mengubah apa, Alka?!”

“Hentikan … andai bisa mengulang waktu, aku gak ingin mengenalmu.”

Kata-kata itu begitu pelan, tapi mengapa menghantam kewarasan begitu sadis? Aku di sini, tapi mengapa ia selalu berkilah?

Ia menghukumku dengan pengabaian yang diberikan dulu padanya. Jika memang tujuan akhirnya hanya sebuah kehilangan, untuk apa ada sebuah pertemuan?

Alka tahu, bahwa aku bukanlah seseorang yang mudah menyerah. Selalu yakin, walaupun bermodalkan harapan kosong. Namun, ia terlalu kejam untuk sekadar mencari tahu bahwa seseorang yang jatuh cinta tidak pernah melupa semudah itu. Ada ingatan, meski itu hanya bertahan dalam hitungan detik.

******

Alka - Alka, ribet banget sih lu .. ♥️

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang